Dahlan Iskan adalah Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara P.T. PLN (Persero) yang memimpin perusahaan BUMN ini dengan cara-cara yang tidak konvensional. Selama bulan Mei ini, misalnya, seluruh jajaran PLN tidak diperbolehkan mengadakan perjalanan dinas. Alasannya: karena dalam jangka waktu satu bulan uang yang digunakan untuk perjalanan dinas sangat besar dan karena itu PLN harus belajar berhemat.
Hal lain yang tidak diketahui umum adalah bahwa Dir Ut ini tidak mengambil gajinya sebagai pejabat PLN karena beliau cukup kaya sebagai pemilik/pengelola Jawa Pos dan satu (?) pusat listrik tenaga uap dengan bahan bakar batubara di Kalimantan. Baru-baru ini beliau pergi ke RRC untuk berobat, khabarnya untuk memperoleh cangkok hati, kemudian berpetualang ke Korea Selatan untuk mengecheck mencari tahu sendiri hal ihwal pusat listrik tenaga nuklir.
Di sini perlu diterangkan bahwa jajaran P.T.PLN (persero) selama ini, sejak tahun 1970-an hingga sekarang, tidak dikenal sebagai lembaga yang mendukung pembangunan PLTN di Indonesia. Terutama dengan alasan: biaya modal yang amat tinggi dan tidak transparannya perincian biaya modal PLTN. Anehnya, mengapa tidak dapat mengakses data dari luar negeri dan mengkaji informasi yang banyak tersebar di internet ? Mengapa tidak dapat menyetujui usul-usul yang dikemukakan oleh para penjabat BATAN ?
Berikut ini adalah tulisan Dir Ut PLN yang sekarang setelah perlawatannya di Korea Selatan. Dari tulisan tersebut, yang dimuat dalam Indopos tanggal 18 Mei 2011, dapat disimak bahwa P.T. PLN (Persero) bakal berbalik 180 derajat sikapnya terhadap PLTN.
SAYA tidak habis pikir: Tetangga terdekat Jepang ini sama sekali tidak terpengaruh oleh heboh pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima. Korea Selatan tetap bersemangat, bukan saja menjalankan PLTN yang sudah ada, melainkan juga terus membangun PLTN baru. Gempa dan tsunami hebat yang menghancurkan PLTN Fukushima pada Maret lalu ternyata sebatas membuat Korsel lebih waspada.
Tidak ada satu pun PLTN di Korsel yang berjumlah 20 unit itu yang dihentikan operasinya. Bahkan, yang sedang dibangun pun tetap dikebut penyelesaiannya. Akhir bulan lalu, setelah memeriksakan liver baru saya di rumah sakit di Tianjin, saya mampir ke Korsel. Jarak ke negara itu, dari Tianjin, hanya satu jam penerbangan. Saya ingin menyaksikan benarkah pemerintah Korsel tidak terpengaruh tekanan antinuklir yang dengan kejadian di Fukushima mendapat momentum yang tepat.
Ternyata benar. Saya dibawa ke pantai tenggara Korsel yang posisinya menghadap ke arah Fukuoka, Jepang. Korsel memiliki 20 PLTN dan semuanya di pantai. Praktis, sepanjang pantai timur dan selatan Korsel padat dengan PLTN.
Di lokasi yang saya tinjau ini, misalnya. Bukan hanya PLTN yang sudah ada sebanyak 4 unit tetap beroperasi, bahkan akan ditambah lagi dua unit baru. Dua unit baru ini saya lihat sedang giat-giatnya diselesaikan. Terlihat begitu banyak pekerja di kedua proyek itu. Korsel yang dikenal disiplin pada jadwal proyek itu memang ingin menyelesaikan dua proyek PLTN itu satu bulan lebih cepat dari jadwal seharusnya: akhir tahun ini juga.
Dua unit yang sedang dalam penyelesaian itu salah satunya dibangun grup Samsung. Rupanya, Samsung pun sudah merambah ke bidang pembangunan PLTN. Ini bukan kunjungan saya yang pertama ke PLTN. Tahun lalu saya ke PLTN Genka di Kyushu, Jepang. Namun, baru kali ini saya melihat proyek PLTN yang sedang dikerjakan. Inilah kesempatan baik bagi saya untuk melihat "jantung?-nya PLTN yang tidak mungkin bisa dilihat lagi setelah proyek itu selesai.
Kebetulan tahap pembangunan PLTN oleh Samsung ini sudah mencapai titik menjelang akhir. Bangunan fisik reaktornya sudah jadi, namun masih bisa dimasuki untuk melihat dalamnya. Bagian-bagian yang berada di bawah air sudah dipasang. Tapi, karena airnya sangat jernih, bagian tersebut masih bisa dilihat samar-samar. Reaktornya sendiri yang kelak diisi uranium itu belum dipasang, tapi sudah siap di sebelah "kolam" itu. Tinggal mengangkat dan memasukkannya ke kolam, disatukan dengan bagian bawahnya yang sudah berada di dalam air.
Peralatan-peralatan lain juga sudah dipasang, tapi masih bisa ditinjau dari jarak dekat: proses steam, turbin, generator, dan ruang kontrol. Berada di dalam kubah besar bangunan PLTN yang sudah jadi, kita bisa melihat tebal dan berlapis-lapisnya material yang sangat khusus untuk dinding kubah itu. Kita juga bisa melihat sistem pendingin yang berlapis-lapis yang sudah tidak akan seperti Fukushima yang memang masih menggunakan teknologi 40 tahun lalu itu.
Ketergantungan Korsel akan PLTN memang tidak bisa dihindari lagi. Sudah terlalu besar peran PLTN untuk pasokan listrik di Korsel: sudah 30%. (30 persennya lagi PLTU batubara dan sisanya PLTG). Kalau PLTN di Korsel dihentikan, ekonomi negara gingseng yang lagi ingin mengalahkan Jepang itu bisa langsung ambruk.
Apalagi Korsel telanjur mengandalkan PLTN bukan hanya untuk kecukupan pasokannya, tapi juga untuk menjaga keandalan listriknya, efisiensinya, dan murahnya harga listrik.
Soal murah ini saya hampir-hampir tidak percaya. Sebab, ketika di Jepang tahun lalu saya mendapat keterangan harga listrik dari PLTN masih USD 17 cent/kWh. Rasanya saya tidak salah mendengar saat itu. Rasanya saya juga sudah mengulangi beberapa kali pertanyaan saya itu dan jawabnya sama: USD 17 cent/kWh. (Baru setelah di PLN saya tahu bahwa dalam menulis kWh, huruf W-nya harus besar karena berasal dari nama orang yang menemukan listrik, James Watt).
Tapi, di Korsel ini saya mendapat penjelasan yang sangat mengejutkan. Harga listrik dari PLTN hanya USD 3,9 cent/kWh. Untuk rupiah sekarang, ini hanya sekitar Rp 350/kWh. Bandingkan dengan harga listrik dari PLTU batubara yang kini sudah mencapai Rp 600/kWh. Atau bandingkan dengan harga listrik yang diproduksi dengan minyak solar di Tambak Lorok (Semarang) atau di Muara Tawar, Tanjung Priok dan Muara Karang (semuanya di sekitar Jakarta) yang saat ini mencapai Rp 3.000/kWh. Praktis, 10 kali lipat lebih mahal daripada listrik nuklir Korsel. Apalagi, kalau dibandingkan dengan produksi listrik di pulau-pulau luar Jawa yang mencapai Rp 3.500/kWh.
Saya sungguh mengira salah dengar. Lebih lima kali saya mengulangi pertanyaan saya itu. Khawatir masih salah dengar, saya minta dituliskan di atas kertas. Mula-mula saya yang menuliskannya. Dia pun membenarkan. Lalu saya minta dia sendiri yang menulis. Ternyata sama: USD 3,9 cent/kWh.
Saya masih takut teperdaya. Ketika mengunjungi PLTA (pembangkit listrik tenaga air) pumped storage di Yang Yang, tiga jam naik mobil dari Seoul, saya bertanya ke pejabat tinggi Kepco (PLN-nya Korsel). Ini berarti saya bertanya ke pihak pembeli. Saya ingin membandingkan keterangan pihak PLTN (penjual listrik) dengan keterangan Kepco sebagai pihak pembeli (untuk disalurkan ke masyarakat).
Pertanyaan saya: berapakah Kepco membeli listrik dari pembangkit-pembangkit nuklir? Jawabnya: USD 3,9 cent/kWh.
Bahkan, pejabat tinggi "PLN Korsel" itu menuliskan daftar harga listrik yang dia beli dari berbagai jenis pembangkit. Nuklir 3,9 cent, PLTU batubara: 6,0 cent, PLTA: 13,8 cent, PLTA pumped storage: 20,1 cent.
PLTA pumped storage menjadi paling mahal karena sifatnya yang khusus. Inilah pembangkit listrik yang menggunakan air, tapi hanya dijalankan lima jam sehari, yang disebut waktu beban puncak. Kalau di Indonesia, beban puncak itu terjadi antara pukul 6 sore sampai 10 malam, ketika semua orang menyalakan listrik di rumah masing-masing.
Pada jam-jam seperti itu semua air di waduk yang di atas sana ditumpahkan ke turbin untuk menghasilkan listrik. Setelah pukul 10 malam, ketika rumah-rumah mulai mematikan listrik, operasi dihentikan. Air yang sudah diterjunkan ke waduk bawah tadi dipompa lagi ke atas dimasukkan ke waduk atas. Begitulah terus-menerus sepanjang hari. Airnya diputar dengan cara yang amat mahal.
Untuk kali pertama PLN akan membangun proyek seperti ini di Cisokan, dekat Bandung. Setelah diadakan penelitian, untuk seluruh Jawa hanya satu tempat ini yang bisa dipakai untuk pembangkit listrik sistem khusus ini.
Setelah mendapat keyakinan harga tadi, barulah saya mengerti mengapa industri di Korsel bisa mendapat harga listrik lebih murah dari Indonesia. Padahal, di Tiongkok saja, yang harga-harga barangnya lebih murah, listrik untuk industrinya lebih mahal dari Indonesia.
Dari sini juga saya tahu bahwa mati lampu di Korsel menjadi yang terbaik di dunia. Setahun hanya mati lampu 3 menit. Salah satunya karena pasokan listriknya sangat andal. (Indonesia: 2009 mati lampu 150 kali; 2010 turun jadi 50 kali; 2011 ini ditargetkan hanya 9 kali rata-rata per pelanggan per tahun).
Dari sini pula saya bisa maklum mengapa pemerintah Uni Emirat Arab tidak membatalkan proyek nuklirnya. Samsung juga yang akan mengerjakan empat unit PLTN di Uni Emirat Arab, masing-masing 1.400 MW itu. "Kami terus bekerja di sana," ujar pejabat tinggi Samsung yang menemani saya.
Tapi, tidakkah rakyat Korsel takut akan terjadi seperti di Fukushima? Itu yang membuat saya bertanya-tanya. Kalaupun pemerintahnya tidak terpengaruh, apakah rakyatnya juga tidak takut" Saya pun mencari kesempatan untuk menanyakan hal itu kepada orang biasa di keramaian Kota Seoul. Ada yang pekerjaannya sopir, ada juga yang pegawai kantor swasta.
Pertanyaan yang saya ajukan sama: apakah tidak takut dengan listrik nuklir? Jawabnya mirip-mirip: ada juga ketakutan itu, tapi tidak seberapa besar. Lalu saya bertanya lagi: seandainya rasa takut itu dibuat skala antara 1 (tidak takut sama sekali) sampai 100 (sangat takut), di skala berapakah ketakutan Anda itu? Jawab mereka juga miri-mirip: di antara skala 15 sampai 20. Wallahualam.
Dahlan Iskan
CEO PLN