Rabu, 05 Maret 2008

Beda Argentina-Brazil dengan Indonesia

Komentar terhadap pernyataan sikap 28 “Akademisi”

Di salah satu harian ibukota diberitakan bahwa Argentina-Brazil Sepakati Pembangunan PLTN (Republika, Senin 25 Februari 2008, halaman 16). Sehari sebelumnya, Minggu 24 Februari 2008 harian Kompas memberitakan tentang “pernyataan sikap 28 akademisi Indonesia“ yang mendesak Pemerintah untuk membatalkan PLTN Muria (Kompas, Minggu 24 Ferbuari 2008, halaman 1).

Lain padang lain belalangnya, lain lubuk lain pula ikannya. Kalau di Argentian-Brazil para akademisinya, lebih-lebih yang tidak membidangi masalah energi secara umum atau nuklir secara khusus memilih diam, di Indonesia lain lagi. Di Indonesia para akademisinya, bahkan yang tidak membidangi energi apalagi nuklir merasa tahu dan perlu bicara. Celakanya semua itu didasarkan pada informasi yang kebenarannya dapat dipertanyakan, bias yang tertuang dalam Landasan Pertimbangan Forum Akademsi 23 Februari 2008 (LPFA) yang berjudul “Menyikapi PLTN Fisi dan Kebijakan Energi Di Indonesia”, yang sudah barang tentu LPFA ini disusun juga oleh seorang atau lebih akademisi dimaksud.

Saya jadi teringat Imam Gazali yang membagi manusia ini dalam empat kelompok. Dan para akademisi kita tersebut terjebak masuk dalam kelompok keempat pembagian Imam Gazali yang dimaksud, yaitu “Mereka tidak tahu bahwa mereka tidak tahu”. Gejala ini di Indonesia begitu menjamur, terutama sekali kalau sudah menyangkut PLTN, dan mereka bicaranya bukan main, bahkan sepertinya lebih tahu dan lebih galak dari mereka yang menekuni bidang ini.

Mari kita simak beberapa butir saja dari Landasan Pertimbangan Forum Akademisi 23 Februari 2008 (LPFA) tersebut:

Risiko Kecelakaan (LPFA butir 3, saya mulai dari sini saja).

Yang dipakai sebagai acuan adalah majalah Nature, 359 tahun 1992 (lima belas tahun yang lalu). Sebagai ilmuwan apalagi akademisi, tentunya acuan pustakanya berkembang dari waktu ke waktu dan tidak berpaku pada pustaka yang terbit 15 tahun yang lalu. Bandingkan dengan acuan saya (bukan akademisi), yaitu informasi yang tertuang dalam “The Chernobyl Legacy (TCL)“ yang diterbitkan oleh IAEA tahun 2006 (2 tahun yang lalu). TCL berisikan kesimpulan dari pertemuan dua “expert working group (ewg)“ yang diselenggarakan oleh WHO dan IAEA secara terpisah yang dihadiri masing-masing oleh lebih dari seratus ilmuwan dari berbagai belahan dunia, yang mungkin pro nuklir dan mungkin juga anti nuklir tapi nuraninya sebagai ilmuwan terpanggil untuk ikut meneliti dampak kecelakaan nuklir teparah itu. “Expert working group“ ini dibentuk dalam usaha mengkaji 20 tahun dampak kecelakann Chernobyl yang terjadi tahun 1986. IAEA menangani masalah dampak terhadap lingkungan sedang WHO menangani masalah dampak terhadap kesehatan dan program penangannya. Pertemuan EWG ini didukung oleh IAEA, WHO, FAO, UNDP, UNEP, UN-OCHA, UNSCEAR, Grup BANK DUNIA, Pemerintah Belarus, Federasi Rusia dan Ukraina, yang disebut Forum Chernobyl. Penyelenggara dan sebagian besar pendukungnya adalah lembaga teknis PBB yang kredibilitasnya tidak perlu dipertanyakan. Begitu juga pesertanya, ilmuwan dan akademisi yang kredibilitasnya juga tidak diragukan!

Inilah beberapa hasil yang saya kutip:

Korban meningal “hanya“ 56 orang (dan bukan 10.000 atau 25.000 sampai 100.000 seperti yang disebutkan dalam LPFA). 47 dari 56 orang yang meninggal ini adalah para pekerja kedaruratan, yang terdiri dari antara lain para pegawai PLTN, anggota regu Pemadam Kebakaran, Prajurit dan sukarelawan berumur antara 25 – 45 tahun, yang disebut “liquidator“ yang diterjunkan ke daerah dengan radiasi tinggi disekitar PLTN yang mengalami kecelakaan. Total diperkirakan sebanyak 750.000 “liquidator“ yang terjun ke daerah radiasi tinggi itu, 350.000 diantaranya menerima dosis rata2 sekitar 100 mSv (miliSievert). Bandingkan dengan pekerja nuklir yang hanya boleh menerima 20 mSv pertahun atau penduduk yang hanya 1 mSv pertahun. Meskipun demikian “hanya“ 47 orang dari 750 000 liquidator itu yang meninggal atau hanya 0,006 %. Yang 9 orang lagi dari 56 yang meninggal itu adalah jumlah anak-anak dari 4.000 anak (usia s/d 18 tahun) yang terkena kanker thyroid (jadi hanya 0,25 %). Dengan demikian “survival rate-nya“ lebih dari 99 %! Juga tidak ada bukti yang meyakinkan terjadinya kenaikan jumlah penderita leukimia, solid cancer dan penyakit lain yang terditeksi. Dan tidak terditeksi pula menurunnya tingkat kesuburan atau terjadinya anomali pada kelahiran bayi di sana. (Silahkan baca: Mohammad Ridwan, “Overview Of the Three-Mile Island and Chernobyl Accidents” dipresentasikan dalam “Indonuclear 2007”, Jakarta 2-3 April 2007 atau masuklah ke www. iaea.org).

Dalam butir ini disebutkan bahwa negara-negara maju menghapus PLTN secara bertahap? Apa benar?! Yang diacu adalah Jerman dan Swedia, dua negara yang sampai sekarang tetap mengoperasikan PLTN. Kapan mau dihapus secara bertahap? Tidak ada ketentuan yang pasti, mungkin juga nanti tidak dihapus. Masalahnya terletak pada persaingan/isu antar partai politik dan kebutuhan energi negara tersebut secara keseluruhan. Reaktor termal di Mulheim-Kaerlich (1.300 MWe) yang diacu dari Wilardjo, 2007b (makalah belum ditebitkan, hebat (!) makalah belum terbitpun sudah diacu oleh akademisi kita ini), memang benar dimatikan setelah beroperasi selama 25 bulan (dari bulan Maret 1986 s/d September 1988) dan terkoneksi kejaringan selama 13 bulan (dari bulan Agustus 1987 s/d September 1988).

Masalahnya terletak pada penemuan kemudian bahwa tapak PLTN ini terletak pada suatu patahan. Demi keselamatan, lebih baik merugi. Seharusnya kita unjuk jempol pada keputusan yang hebat ini. Austria dari dulu memang tidak akan membangin PLTN, karena dapat beli listrik PLTN dari Republik Czech dan Republik Slovak, dua Negara yang mengoperasikan 11 (sebelas) PLTN buatan Rusia (tipe WWER). Austria selama ini selalu membantu kedua negara tersebut dengan dana besar untuk memperbaiki sistem keslematan PLTN buatan Rusia dimaksud! Swiss, dengan 5 PLTN mungkin sudah merasa tercukupi kebutuhan listriknya, dan selama ini tidak pernah mengalami “byar pet”, lha untuk apa membangun PLTN lagi? Mubazir kan? Mengapa para akademisi ini tidak menyebut Finlandia, (tetangga Swedia) yang telah menambah PLTN-nya satu lagi, atau Jepang dari 35 PLTN (tahun 1986 – ketika kecelakaan Chernobyl terjadi) menjadi 56 (tahun 2006 – 20 tahun sesudah Chernobyl), atau Korea Selatan, negara industri baru dari 7 PLTN (1986) menjadi 20 PLTN (2006) – kenaikan hampir tiga kali lipat, atau RRC dari 0 (1986) menjadi 9 (tahun 2006).

Kecelakaan lainnya?

Jumlah kecelakaan PLTN di dunia ini yang besar hanya tiga, yaitu di Three Mile Island, Chernobyl dan Mihama, dan korban meninggal hanya terjadi di Chernobyl saja dengan korban meninggal 56 orang. Jumlah korban meninggal dalam kecelakaan nuklir total dari semua kegiatan nuklir, PLTN, kesehatan, industri, “hanya“ 186 dari 539 korban selama 54 tahun sejarah PLTN dan kalau di rata-ratakan hanya 3 pertahunnya. Angka ini sudah termasuk satu orang yang hara-kiri di Jepang karena merasa bertanggung jawab terjadinya kebakaran di Reaktor Monju! Bandingkan dengan industri kimia yang mencapai korban meninggal 238 orang pertahunnya (data tahun 1970 -1987), tambang batu bara yang sampai 5.000 pertahunnya (saat ini), atau kecelakaan lalu lintas di Indonesia yang pada akhir 90-an dan awal 2000 “hanya“ sekitar 30 perhari (atau setahun 11.000 pertahun) dan menjadi sekitar 50-an (setahunnya 18.000) saat ini. Acara mudik tahun 2004 memakan korban meninggal 184 orang, sama dengan jumlah korban meninggal kecelakaan nuklir total (186) selama 65 tahun sejak reaktor nuklir pertama dioperasikan di Universitas Chicago! (Silahkan baca: Mohammad Ridwan, Peranan SDM dalam Keselamatan Nuklir, dipresentasikan dalam Seminar NAsional III SDM Teknologi Nuklir, Yogyakarta, 21 November 2007, STTN BATAN, Yogyakarta) Bias? Ya tentu. Cuma nengapa Akademisi kok bias dalam mengungkapkan fakta, lha mahasiswanya jadi bagaimana nanti?!

Pencemaran Bahang (Thermal Pollution) – LPFA butir 2b – halaman 5.

Pendek saja: Pemanasan Global bukan disebabkan oleh panas yang dilepas oleh PLTN ke lingkungan. Bahkan di beberapa tempat di daerah panas dilepaskan oleh air PLTN biota terutama ikan tumbuh berkembang lebih subur dari tempat lain. Pustaka yang diacu adalah Wilardjo, 2007a. Kok gitu!

Limbah Radioaktif dan Cadangan Uranium Dunia (LPFA butir 2 dan butir 6)

Konsentrasi saya berikan kepada limbah dengan aras tinggi, yaitu bahan bakar bekas, yang secara teknis sebetulnya bukan limbah karena masih dapat dan akan digunakan. Ada dua mashab yang dianut oleh komunitas nuklir mengenai bahan bakar bekas ini.

Mashab pertama yaitu mashab Eropa, yang diikuti juga oleh Jepang, yaitu tidak menyimpannya tapi mendaur ulang, mengambil sisa uranium yang belum terbakar dan plutonium hasil reaksi fisi sebagai bahan bakar nuklir baru (di Perancis fasilitas daur ulang teletak di La Hague, di Inggris di Sellafield, sedang Jepang di Rokkasho-mura). Plutonium hasil daur ulang ini kemudian dicampur dengan bahan bakar nuklir uranium dan disebut oksida campuran atau “mix-oxide“ populer disebbut MOX. Saat ini sebagian besar 59 PLTN Perancis sudah menggunakan MOX tadi dan Jepang akan segera menyusulnya. Jadi kalau dibilang cadangan uranium (murni) terbatas ya benar, tapi bahan bakar nuklir akan tak tebatas apalagi kalau reaktor pembiak masuk dalam percaturan lagi dan thorium mulai dimanfaatkan sebagai bahan bakar nuklir di samping uranium. Jadi klaim pendukung PLTN bahwa energi nuklir merupakan energi berkelanjutan bukan isapan jempol belaka (lihat halaman 10 LPFA). Karena itu janganlah terjebak masuk kelompok 4 Imam Gazali!

Mashab yang kedua dianut Amerika Serikat, menyimpannya, mungkin untuk dapat digunakan generasi mendatang. Di simpannya di bawah pegunungan Yucca, di Nevada. Proses daur ulang komersial di Amerika Serikat dihentikan oleh Presiden Ford dan Presiden Carter pada tahun 1976-1977.

Dalam halaman 5 LPFA disebutkan bahwa 1.000 MW PLTN menghasilkan 25 ton limbah bahan bakar nuklir dan dihalaman 6 dibeberkan jumlah limbah bahan bakar nuklir perkawasan, yang totalnya “hanya“ 171.000 ton (baca ribu ton). Mengapa tidak disebut juga limbah yang dikeluarkan PLTU batu bara misalnya dengan daya 1.000 MW(e), beroperi satu tahun dengan faktor beban 57 % yang akan menghasilkan limbah CO2 sejumlah 6.500.000 ton (baca juta ton), SO2 – 44.000 ton, NOx – 22.000 ton, abu dan logam berat beraacun seperti As, Cd, Hg, Pb – 20.000 ton. Berapa jumlah limbah perkawasan? Tak terhitung. (Silahkan baca: Mohammad Ridwan “PLTN dan Lingkungan Hidup“, Prosiding Dialog PLTN dst, Yogyakarta 9-10 September 1998, Pusat Studi Energi UGM). Mengapa Akademisi harus bias lagi dalam mengungkapkan fakta, lha mahasiswanya bagaimana!

PLTN Tidak Menghasilkan Listrik Murah (butir 7 LPFA – halaman 11)

Banyak studi yang dilakukan dan dipublikasikan diantaranya dalam WNA Report (Desember 2005), oleh Universitas Chicago (2004) atau oleh Royal Academy of Engineering (2004). Saya tidak mau membuat perhitungan dengan menggunakan rumus macam2 (seperti dalam ketiga pustaka tersebut) dengan memasukkan biaya modal, bunga bank, waktu pembangunan, amortisasi dlsb dlsb, yang dianut para akademisi ekonomi kita, untuk membuktikan bahwa Listrik PLTN lebih murah dari lainnya. Saya hanya akan menggunakan logika pedagang kaki lima saja! Pedagang kaki lima itu, dengan melihat perkembangan pasar dan bisa mendapat untung, dagangan langsung digelar di kaki lima, dengan segala macam risiko digerebek Satpol. Di dunia ini terdapat 437 PLTN, (data bulan Juni 2007, diantaranya, di Amerika Serikat – 103 PLTN, di Perancis - 59, di Jepang - 55, di Rusia - 31, di Korea Selatan - 20, di UK - 19, di Kanada - 18 dllnya) yang dibangun dan dioperasikan oleh perusahaan listrik swasta maupun BUMN yang mencari untung. Jadi menurut saya sungguh bodoh lah perusahaan itu mau membangun PLTN kalau harga jual listriknya jadi merugi.

Risiko Terorisme (LPFA butir 4 halaman 9)

Risiko ini sudah disadari oleh semua termasuk masyarakat internasional. Karena itu ada konvensi yang disebut Convention on Physical Protection of Nuclear Materials yang di Indonesia juga sudah diratifikasi dalam bentuk Kepres RI No 49 Tahun 1986 (dua puluh tahun yang lalu). Konvensi ini mensyaratkan adanya berbagai proteksi fisik terhadap fasilitas nuklir yang mempunyai bahan bakar nuklir. Karena itu bukan untuk gagah-gagahan kalau semua reaktor nuklir dijaga ketat dengan pagar berlapis, karena hal itu merupakan persyaratan internasional. IAEA setiap mengirimkan inspektur safeguards-nya ke suatu negara, termasuk Indonesia, akan melakukan pemeriksaan terhadap ketaatan pada isi Konvensi ini, yang dapat dilaporkan dalam sidang Dewan Gubernur IAEA atau Konferensi Umum tahunan IAEA. Kalau suatu negara belum mampu melaksanakan konvensi ini secara benar, IAEA menyediakn bantuan dalam bentuk IPPAS atau International Physical Protection Advisory Service).

Karena itu paling baik masuk ke kelompok 2 pembagian Imam Gazali, yaitu “Mereka Tahu bahwa Tidak Tahu”. Kalau memang tidak tahu apa salahnya sih bertanya, (malu bertanya sesat dijalan lho– kata orang dulu) atau cari di ineternet, tapi jangan bias.

Pelanggaran Terhadap UU yang Berlaku (Butir 8 LPFA, halaman 12)

Pustaka yang diacu adalah Setianto 2007a (makalah belum diterbitkan – jadi masih dalam angan-angan). Menurut halaman 12 itu, kerugian nuklir adalah perusakan lingkungan yang diharuskan pencemarnya bertanggung jawab, sedang dalam UU No. 10 Tahun 1997 menurut ybs, tidak ada mengenai hal perusakan lingkungan. Coba tengok Penjelasan UU No. 10 Tahun 1997 itu yang menyebutkan bahwa “penggantian kerugian terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan harus sesuai dengan nilai kerugian kerusakan ditambah dengan besarnya biaya untuk melakukan tindakan rehabilitasi lingkungan“. Lho apanya yang kurang ya! Bab UU ini hanya mengatur ganti rugi pihak ke tiga saja. Perlu diketahui bahwa tidak semua negara yang mengoperasikan PLTN mencantumkan pergantian kerugian nuklir terhadap pihak ketiga ini dalam UU-nya. Paling mereka-mereka itu meratifikasi Konvensi Paris yang kemudian disempurnakan dengan Konvensi Vienna, yang tentunya sama saja. Pidana, ya ada. Pidana diatur oleh UU lain, tidak diatur di UU No 10 Tahun 1997. Kalau misalnya operator PLTN ugal-ugalan dan menyebabkan terjadinya kecelakaan nuklir dan memakan korban, seperti sopir Metro Mini yang mencemplungkan bisnya ke kali Sunter sampai 22 orang penumpangnya meninggal atau bis Kramat jati yang tebakar di tol Jagorawi sampai 30 lebih penumpangnya ikut terbakar mati, ya operator ini akan kena pasal pidana karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal. Itupun kalau operator ini selamat. Inilah suahnya kalau Akademisi sudah bias, jadi mata di tutup. Atau karena memang sudah terjebak masuk kelompok 4 yang saya maksud di awal tulisan ini.

Ketergantungan pada Pihak Asing (LPFA-hal 9)

Jangan berilusi tentang ketergantungan pada Pihak Asing. Kapal Terbang? Mobil? Motor? Bahkan Sepedapun tergantung pada pihak asing. Kok itu. Staples, isi staples, peniti dan jarumpun tergantung pada pihak asing. Bahkan bukan itu saja. Beras, gula, bungkil kelapa, garam dan bahkan kedelepun sekarang ini tergantung pada pihak asing. Karena itu hindarilah berfilosofi. Yang perlu disiapkan adalah suatu kebijakan alih teknologi yang progressif, melalui adopsi, adaptasi dan innovasi, atau istilah ilmiahnya, melalui lisensi, integrasi teknologi dan innovasi, di semua strata pembangunan yang menggunakan teknologi. Untuk maksud ini perlu disiapkan apa yang saya sebut welcoming infrastructure. Dalam hal ini peran akademisi sangat besar dan berarti!

Kesimpulan.

Banyak hal-hal kecil yang dimuat dalam LPFA ini yang tidak benar dan bias. Celakanya pustaka DN yang diacu banyak yang bias, sedang pustaka LN ya sudah kuno! Misalnya tentang rawan gempa. Jepang dengan 55 PLTN juga negara rawan gempa. Tapi tidak ada satupun kecelakaan PLTN dengan dampak sepersepuluh Chernobyl saja yang disebabkan oleh gempa. Ada persyaratan khusus untuk itu. Atau mengenai Kr-85 dan Xe-125. Nggak benar itu. Karena itu saya hanya berkonsentrasi menyoroti hal-hal yang utama saja.

Dengan tulisan ini, bukan maksud saya untuk mengurui atau mengajak semua orang apalagi akademisi untuk pro nuklir. Pro dan kontra itu terserah masing-masing orang atau pribadi, seperti saya tidak pro “gudeg” yang katanya enak sekali. Saya lebih pro “ayam sri suharti” – lebih mantep. Yang menjadi keprihatinan saya ialah para akademisi kita ini terjebak dalam subtansi yang tidak diketahuinya secara teknis apalagi dikuasainya, dan mencoba membahasnya dan menentukan sikap lagi, dan dilepaskan ke publik. Sedang informasinya tidak akurat dan sangat bias dan akhirnya terkesan membohongi publik. Pengertian saya “ilmuwan itu, apalagi akademisi boleh salah, tapi tidak boleh bohong“. Lha kalau akademisi kita sudah begini bagaimana nasib bangsa ini. Anak didiknya yang nota bene kompenen bangsa dan calon pemimpin masa depan akan mendapat ilmu yang bagaimana? Lha mau dibawa ke mana bangsa ini? Apalagi dua orang penandatangan sikap ini adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang saya hormati, sedang anggota AIPI itu menurut UU No 8 Tahun 1990 tentang API adalah ilmuwan terkemuka. Celaka!

Kalau tidak mau nuklir atau anti nuklir ya bilang saja “saya anti nuklir” – tidak ada masalah! “Cendekiawan memang harus memihak”, kata Mang Usil, KOMPAS. Tapi jangan sekali-kali mencoba melampirkan berbagai alasan teknis yang tidak dikuasainya, apalagi data yang disodorkan sangat bias dan bahkan masih dalam angan-angan karena belum dipublikasikan!

Cobalah baca Testimony, yaitu statement Patrick Moore, pendiri Green Peace di depan Subkomisi Kongres Amerika Serikat yang membidangi Energi dan Sumber Daya Alam (2004) yang menyebutkan bahwa there is now a great deal of scientific evidence showing nuclear power to be an environmentally sound and safe choice” atau makalah Bruno Comby yang menyatakan bahwa “Green Opposition to Nuclear Energy was a Historical Mistake”. Bruno Comby adalah seorang environmentalist yang menulis 10 buku tentang lingkungan hidup dan hidup sehat yang diterjemahkan dalam 15 (baca limabelas) bahasa termasuk best seller-nya Environmentalist for Nuclear Energy, atau tulisan James Lovelock dalam Reader Digest bulan May tahun 2005 dengan judul Our Nuclear Lifeline, saya kutip sedikit dari tulisannya: “I have been green all my life. I love the natural world and have devoted my scientific career to understand how it all works, …dst dst. Our life line is nuclear energy”. Ke tiga tulisan ini akan saya sampaikan kepada ke dua orang anggota AIPI yang saya hormati itu).

Akhirulkalam saya mohon maaf kepada semua pihak, kalau gaya bahasa saya ceplas-ceplos dan bertendensi menggurui. Jauh dari itu, cuma gaya ceplas-ceplos itu sudah bawaan saya dari lahir, karena saya orang Madura. Tapi nothing personal. Tujuan saya semata untuk meletakkan semua ini pada posisi yang semestinya.

Mohammad Ridwan

(Pensiunan PNS, mantan Kepala BAPETEN 1998-2004, mantan Staf Ahli Menristek 1993 -1998, mantan Ketua Tim RUU Nuklir (1995-1996) dan mantan Direktur Kerjasama Teknik IAEA 1985-1993. Juga mantan Sekjen AIPI 1994-2004, mantan anggota DRN 1984 – 2004 dan mantan Ketua dan anggota Tim RUT, RUK dan RUTi (Riset Ungulan Terpadu, Kemitraan dan Internasional bidang energi Kantor Kementrian Riset dan Teknologi).