Sabtu, 26 Desember 2009

Direksi PLN dan Tarif Listrik

Akhir-akhir ini beberapa Yahoo-chatgroup ramai membicarakan pengangkatan Dirut Jawa Pos menjadi Dirut PLN. Kalau tidak salah, ini bukan pertama kalinya seseorang dari luar PLN diangkat oleh Pemerintah menjadi Dirut PLN. Di zaman Orde Baru Dr. Zuhal pernah diangkat menjadi Dirut PLN; beliau dari BPPT.

Pengangkatan orang luar tentu akan menimbulkan masalah bagi jajaran SDM PLN, karena merasa tidak ada yang dianggap kompeten untuk memimpin. Jenjang karier pun terganggu. Dirut yang digantikan pun belum lama menjabat sebagai Dirut PLN. Tentu beliau bertanya: apa kesalahannya ? Sudah tentu bukan karena gardu induk terbakar dan menyebabkan pemadaman listrik bergilir di Ibukota.

Saya setuju dengan pendapat bahwa masalah yang dihadapi PLN bukanlah masalah kompeten atau tidaknya Direksi PLN. Masalah sesungguhnya yang dihadapi oleh PLN adalah masalah keuangan: pendapatan PLN kurang dibandingkan dengan pengeluaran. Hal ini sudah berlangsung cukup lama dan berakar pada keengganan Pemerintah untuk menaikkan tarif listrik. Keengganan cukup masuk akal, karena pembangkitan listrik dari PLTU batubara berukuran besar berkisar tidak lebih dari 5-6 sen/kWh. Sebaliknya kondisi PLN adalah memiliki 4000 lebih pembangkit diesel yang terpaksa memakai minyak solar, yang harganya dinaikkan oleh Pemerintah dari Rp 2500/liter menjadi Rp 4500/liter pada 1 Oktober 2005. Sehingga biaya pokok PLN menjadi di atas 9 sen/kWh.

Masalah pokoknya adalah hubungan Direksi PLN dengan Pemerintah, dalam hal ini Presiden, Dewan Energi Nasional (yang baru dibentuk), Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Menteri BUMN. Kedudukan Direksi PLN terlalu jauh dari Pemerintah, sehingga berakibat sulitnya komunikasi tentang masalah tarif listrik. Karena masalah utamanya adalah tarif listrik PLN yang berlaku, untuk keadaan PLN saat ini, adalah terlalu rendah. Untuk keadaan PLN 3-6 tahun lagi, dengan telah selesainya proyek 10000 MW ke-1 dan ke-2, tarif listrik berdasarkan TDL sekarang mungkin akan sedemikian meringankan PLN sehingga tidak memerlukan subsidi lagi. Namun PLN tetap kekurangan dana untuk investasi baru.

Pemecahan masalah yang dihadapi PLN sekarang adalah: bagaimana menaikkan tarif TDL tanpa menimbulkan gejolak masyarakat pelanggan PLN. Ini bukan soal teknis lagi, melainkan soal politik. Makanya saya pikir, walaupun kurang sreg dengan pengangkatan Dirut Jawa Pos menjadi Dirut PLN karena beliau punya kepentingan pribadi sebagai pemilik PLTU, barangkali Dirut baru akan dapat mencarikan jalan bagi Pemerintah dalam merumuskan kebijakan baru TDL. Karena kiprah beliau membuatnya “dekat” dengan SBY.

Di mana2, setahu saya, tarif listrik RT lebih tinggi ketimbang tarif listrik industri karena daya tersambungnya kecil dan pemakaian listriknya juga kecil. Hanya di Indonesia sudah berpuluh tahun terbalik, tarif listrik rumah kecil amat rendah: Rp. 20000/bulan untuk 60 kWh (CMIIW). Jumlah pelanggannya hampir 30 juta !
Hemat saya, tarif listrik rumah kecil ini justru selayaknya dijadikan sasaran "penyesuaian". Caranya tentu harus secara bertahap, dengan prosentasi kecil (5-10 persen) setiap 3 bulan, misalnya.

Demikian pendapat dan saran saya, semoga mendapat perhatian dari Direksi PLN yang baru dan dari Pemerintah !

Budi Sudarsono
Ketua MPEL