Selasa, 29 Juni 2010

Usulan TDL

Pemerintah, dalam hal ini Lembaga Eksuktif bersama-sama Lembaga Legislatif, diberitakan telah menyetujui kenaikan tariff TDL terhitung mulai 1 Juli 2010, yaitu sebesar lk. 10 persen dengan catatan bahwa untuk golongan tariff rumah-tangga yang paling rendah tidak akan diberlakukan kenaikan. Hal ini telah memancing berbagai komentar dari beberapa pihak, khususnya yang bakal terkena kebijakan kenaikan TDL tersebut.
Sesungguhnya harus diakui bahwa kenaikan tersebut cukup wajar; artinya kenaikan sebesar 10 persen setelah penetapannya 6 tahun yang lalu (Kep.Pres. No. 104 tahun 2003 tertanggal 31 Desember 2003) mestinya tidak bakal mengganggu perkembangan ekonomi, mengingat kenaikan harga selama jangka waktu itu lebih tinggi dari 10 persen. Namun alas an utama yang dikemukakan adalah untuk mengurangi subsidi kepada sektor kelistrikan. Jadi tampaknya prinsip yang digunakan ialah: TDL harus naik tetapi jangan terlalu tinggi dan yang penting jangan menambah beban golongan yang pendapatannya paling rendah (tariff R-1 450 VA tidak naik).
Menurut pengamatan penulis, kebijakan yang telah diambil tersebut telah menambah kepincangan di antara golongan konsumen listrik. Penghitungan di atas kertas berdasarkan TDL 2004 memperlihatkan bahwa untuk konsumen rumah-tangga R-1, tagihan PLN kepada konsumen 450 VA berkisar Rp. 380-430/kWh (tergantung banyaknya pemakaian), konsumen 900 VA sekitar Rp. 610/kWh (asumsi pemakaian 100 kWh sebulan), konsumen 1300 VA sekitar Rp 730/kWh (asumsi pemakaian sebulan 150 kWh), sedang untuk konsumen 2200 VA sekitar Rp. 700/kWh (asumsi pemakaian sebulan 300 kWh). Untuk konsumen rumah-tangga R-2 (di atas 2200 VA tapi di bawah 6600 VA) tagihan PLN sekitar Rp. 730/kWh (asumsi pemakaian 1000 kWh sebulan). Penghitungan ini mengabaikan komponen tagihan lain seperti penerangan jalan dsb. Dari angka-angka di atas dapat disimpulkan bahwa konsumen 450 VA dan 900 VA memperoleh cross-subsidy dari konsumen lainnya. Timbul pertanyaan: bukankah lebih adil kiranya apabila semua golongan tariff konsumen rumah-tangga membayar PLN dengan tingkat tariff yang sama per kWhnya ?
Selain itu, hal lain yang lebih penting adalah penetapan tariff per kWh yang lebih kurang sama tingginya bagi setiap golongan tariff: rumah-tangga, bisnis, dan industri. Di mana-mana, sepengetahuan penulis, tariff rumah-tangga adalah tertinggi, tariff bisnis atau komersial nomor dua, dan tariff industri paling rendah. Ini sesuai kaidah: konsumen yang biaya pelayanannya lebih tinggi harus membayar dengan harga yang lebih tinggi. Karena sambungan rumah-tangga pada umumnya lebih rendah kapasitasnya dibandingkan dengan sambungan komersial, dan sambungan komersial pada umumnya lebih rendah ketimbang sambungan industri, maka tariff untuk rumah-tangga mestinya paling tinggi dan tariff industri paling rendah. Hal ini dianut oleh semua negara lain, menurut hemat penulis, antara lain untuk menjaga daya-saing industri dalam era globalisasi.
Ada satu hal lagi yang penting. Kenaikan TDL seperti yang telah dicetuskan oleh Pemerintah (Eksekutif dan Legislatif) sebesar sekitar 10 persen tersebut, apakah sudah diperhitungkan dampaknya terhadap perekonomian kita ? Bukankah lebih baik lagi apabila kenaikan tersebut diumumkan sekarang, akan tetapi diberlakukan mulai 1 Januari 2011 ? Dan yang terbaik, menurut hemat penulia, adalah bilamana kenaikan tersebut hanya sebesar 1 persen setiap bulan selama satu tahun, tetapi diumumkan sejak sekarang!
Jakarta 22 Juni 2010

Budi Sudarsono
Ketua Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan
Catatan: Tulisan di atas dikirim ke Sinar Harapan pada tanggal 23 Juni 2010

Jumat, 18 Juni 2010

Eisenhower, Soeharto, SBY, dan Nuklir

Oleh : Markus Wauran

Suara Pembaruan 15/6/2009

Eisenhower, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) masing-masing adalah Jenderal dari kesatuan Infanteri Angkatan Darat. Ketiga Jenderal ini pernah menjadi Presiden di negaranya masing-masing. Eisenhower adalah Presiden AS ke-34, Soeharto, Presiden RI ke-2, dan SBY Presiden RI ke-6 yang sedang berkuasa saat ini. Masing-masing Presiden ada keunggulannya.
Dari pengalaman perang, Eisenhower lebih populer dan unggul dari Soeharto dan SBY. Puncak popularitas Eisenhower adalah sebagai Panglima Perang Pasukan Sekutu di Eropa yang memenangkan peperangan melawan pasukan Nazi dan koalisinya dimulai dari pantai Normandia sampai ke beberapa Negara Eropa Barat. Soeharto terkenal sebagai Panglima Perang Mandala membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda, melalui kemenangan diplomasi tanpa perang. SBY pernah bertugas sebagai Commander of United Nations Military Observers dan Komandan Kontingen Indonesia di Bosnia Herzegovina tahun 1995-1996. Juga pernah memimpin pasukan dalam perang lokal di Timor Timur.
Ada keunggulan SBY dibandingkan dengan Eisenhower dan Soeharto. SBY dikenal sebagai Jenderal intelektual yang diakui oleh berbagai pihak dalam dan luar negeri, serta penulis beberapa buku baik berbahasa Inggris maupun Indonesia. Dengan pesona yang memukau, SBY mampu berbicara soal politik, konstitusi, ekonomi, budaya, secara cerdas.
Eisenhower menjadi Presiden untuk dua masa jabatan (8 tahun), namun Soeharto lebih unggul karena menjadi Presiden RI selama 32 tahun, yang selalu terpilih secara aklamasi oleh MPR. SBY adalah Presiden pertama RI yang dipilih langsung oleh rakyat dan sedang menjalani masa jabatan ke dua (terakhir) sebagai Presiden yang saat ini sedang menjalani ujian berat dengan berbagai persoalan rumit.
Sebagai Jenderal perang, sesungguhnya Eisenhower benci perang sebagaimana pidatonya di Ottawa pada 10 Januari 1946. yang antara lain mengatakan: “saya benci perang sebagai seorang pejuang yang sudah mengalaminya, sebagai seseorang yang melihat kebrutalitasannya dan kebodohanannya….
Kemungkinan, sebagai ekspresi bahwa dia benci perang walaupun dalam setiap penugasan selalu memenangkan perang, dalam Pidatonya sebagai Presiden AS di depan Sidang Majelis Umum PBB tanggal 8 Desember 1953, Eisenhower mencanangkan “Atom Untuk Perdamaian”(Atom for Peace). Pidato ini menggemparkan dunia karena pada waktu bersamaan, AS, Uni Soviet, Inggris, Prancis sedang berlomba melakukan pengembangan dan uji coba senjata nuklir.
Akibat pidato tersebut, Eisenhower berjasa dalam 3 hal besar yang berdampak bagi AS sendiri maupun bagi dunia. Tiga hal tersebut, pertama, berhasilnya dibangun PLTN pertama di Shippingport, Pennsylvania yang pengoperasiannya diresmikan tanggal 2 Desember 1957 dihadiri Presiden Eisenhower. Kedua, ditetapkannya Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons yang disingkat NPT oleh PBB 12 Juni 1968 di New York dan mulai berlaku efektif 5 Maret 1970; Ketiga, dimanfaatkannya Reaktor Triga sebagai sumbangan AS pada berbagai negara (seperti Austria, Finlandia, Italia, Jepang, Bangladesh, Kongo, Brazil, Jerman, Filipina, , Meksiko, Indonesia, dll) untuk memanfaatkan nuklir bagi tujuan damai dan kesejahteraan. Triga adalah singkatan dari training, research, isotopes, General Atomics. Reaktor Triga artinya reaktor yang berfungsi untuk latihan, penelitian dan memproduksi isotop yang disain dan manufaktur-nya oleh General Atomics. Reaktor pertama Indonesia
adalah reaktor Triga Mark II bantuan AS yang sampai saat ini masih beroperasi di-Bandung.
Di era Soeharto, dibangun 2 reaktor penelitian, Reaktor Kartini di Yogyakarta (1979) dan Reaktor Siwabessy di Serpong(1987) . Juga di-bangun berbagai fasilitas Iptek nuklir baik di kawasan nuklir Pasar Jumat Jakarta Selatan maupun di Serpong yang terkenal dengan Puspitek Serpong. Demikian pula dengan pembangunan sumber daya manusia yang menguasai Iptek Nuklir, kelembagaan dan perangkat hukum sangat signifikan sehingga di era ini sebenarnya Indonesia telah memenuhi syarat untuk mulai membangun PLTN.
Pada peresmian berbagai fasilitas Iptek Nuklir antara tahun 1987 sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, ada 3 hal penting yang disampaikan Soeharto yang harus menjadi pegangan bangsa kita, yaitu : pertama, bahwa hasil penelitian menunjukkan sekitar 25 thn yad untuk memenuhi kebutuhan listrik di-Pulau Jawa, pengerahan semua sumber daya yang ada seperti air, panas bumi, gas alam dan batubara tidak akan mencukupi. Karena itu mulai sekarang kita perlu memikirkan untuk membangun Pusat Listrik Tenaga Nuklir; kedua, penggunaan teknologi nuklir maupun teknologi manapun memang ada resiko. Namun, dengan perencanaan yang cermat tidak perlu ragu untuk menerapkannya. Dalam kehidupan, acapkali kita harus berani menghadapi resiko karena resiko juga merupakan tantangan. Hanya bangsa yang mampu menghadapi tantangan yang akan mampu menjadi bangsa yang maju; ketiga, saya percaya bangsa Indonesia mampu menguasai teknologi canggih. Nenek moyang kita telah membuktikannya
dengan membangun candi yang sangat indah arsitekturnya dan armada laut yang mengarungi samudra luas. Penjajahlah yang membuat kita lemah dan kurang percaya diri. Karena itu, setelah menjadi bangsa merdeka kita harus dapat bangkit kembali untuk mensejajarkan diri dengan bangsa lain yang telah maju.
Persiapan pembangunan nuklir untuk tujuan damai yang telah dipersiapkan Soekarno sampai Soeharto baik SDM, perangkat hukum, kelembagaan dan berbagai fasilitas Iptek nuklir lainnya, kemudian ditindaklanjuti SBY dengan beberapa perangkat hukum antara lain Peraturan Presiden No 5 tahun 2006, dan Undang No 17 tahun 2007 serta dukungan politik DPR dan dukungan tehnis IAEA, maka tidak ada lagi alasan apapun untuk menunda pembangunan PLTN.
Saatnya Presiden SBY mengeluarkan Keppres untuk Indonesia siap go PLTN.
Namun, sampai saat ini Keppres tsb belum terbit. Ada komentar yang mengatakan bahwa SBY orangnya peragu, tidak berani mengambil resiko dan keputusan jika ada tantangan, karena itu tidak mungkin akan ada Keppres untuk Indonesia go PLTN. Sebagai Jenderal infantri seperti Eisenhower dan Soeharto, bagi penulis tidak mungkin SBY peragu apalagi penakut. Karena kalau peragu dan penakut tidak mungkin SBY jadi Jenderal infantri yang setiap saat siap mati untuk tanah air.
Jika SBY saat ini sedang mencari kiat terbaik dan teladan kepemimpinan para Jenderal yang mengilhami dalam mengambil keputusan untuk Indonesia Go PLTN, maka sikap Eisenhower yang berani mengambil keputusan dalam situasi yang kontradiktif demi kepentingan kemanusiaan secara nasional dan global serta sikap Soeharto yang berani mengambil keputusan juga dalam situasi yang kontradiktif demi masa depan Indonesia yang lebih maju dan sejahtera, berani mengambil resiko dan menghadapi tantangan serta tidak takut pada bangsa lain yang sudah maju karena percaya diri dan sangat percaya pada SDM Indonesia, kiranya menjadi acuan dan pemicu bagi SBY untuk segera mengambil keputusan Indonesia Go PLTN. Kiranya TYME mengaruniakan kemampuan dan kearifan bagi SBY untuk mengambil keputusan yang berani, cermat dan cepat Indonesia Go PLTN seperti yang dibuat oleh Eisenhower dan Soeharto. Amin.

Penulis adalah Pengurus HIMNI dan IEN serta Anggota DPR/MPR periode 1987-1999