Sabtu, 28 Mei 2011

DAHLAN ISKAN Nuklir Tidak Habis Pikir

Dahlan Iskan adalah Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara P.T. PLN (Persero) yang memimpin perusahaan BUMN ini dengan cara-cara yang tidak konvensional. Selama bulan Mei ini, misalnya, seluruh jajaran PLN tidak diperbolehkan mengadakan perjalanan dinas. Alasannya: karena dalam jangka waktu satu bulan uang yang digunakan untuk perjalanan dinas sangat besar dan karena itu PLN harus belajar berhemat.

Hal lain yang tidak diketahui umum adalah bahwa Dir Ut ini tidak mengambil gajinya sebagai pejabat PLN karena beliau cukup kaya sebagai pemilik/pengelola Jawa Pos dan satu (?) pusat listrik tenaga uap dengan bahan bakar batubara di Kalimantan. Baru-baru ini beliau pergi ke RRC untuk berobat, khabarnya untuk memperoleh cangkok hati, kemudian berpetualang ke Korea Selatan untuk mengecheck mencari tahu sendiri hal ihwal pusat listrik tenaga nuklir.
Di sini perlu diterangkan bahwa jajaran P.T.PLN (persero) selama ini, sejak tahun 1970-an hingga sekarang, tidak dikenal sebagai lembaga yang mendukung pembangunan PLTN di Indonesia. Terutama dengan alasan: biaya modal yang amat tinggi dan tidak transparannya perincian biaya modal PLTN. Anehnya, mengapa tidak dapat mengakses data dari luar negeri dan mengkaji informasi yang banyak tersebar di internet ? Mengapa tidak dapat menyetujui usul-usul yang dikemukakan oleh para penjabat BATAN ?

Berikut ini adalah tulisan Dir Ut PLN yang sekarang setelah perlawatannya di Korea Selatan. Dari tulisan tersebut, yang dimuat dalam Indopos tanggal 18 Mei 2011, dapat disimak bahwa P.T. PLN (Persero) bakal berbalik 180 derajat sikapnya terhadap PLTN.

SAYA tidak habis pikir: Tetangga terdekat Jepang ini sama sekali tidak terpengaruh oleh heboh pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima. Korea Selatan tetap bersemangat, bukan saja menjalankan PLTN yang sudah ada, melainkan juga terus membangun PLTN baru. Gempa dan tsunami hebat yang menghancurkan PLTN Fukushima pada Maret lalu ternyata sebatas membuat Korsel lebih waspada.

Tidak ada satu pun PLTN di Korsel yang berjumlah 20 unit itu yang dihentikan operasinya. Bahkan, yang sedang dibangun pun tetap dikebut penyelesaiannya. Akhir bulan lalu, setelah memeriksakan liver baru saya di rumah sakit di Tianjin, saya mampir ke Korsel. Jarak ke negara itu, dari Tianjin, hanya satu jam penerbangan. Saya ingin menyaksikan benarkah pemerintah Korsel tidak terpengaruh tekanan antinuklir yang dengan kejadian di Fukushima mendapat momentum yang tepat.

Ternyata benar. Saya dibawa ke pantai tenggara Korsel yang posisinya menghadap ke arah Fukuoka, Jepang. Korsel memiliki 20 PLTN dan semuanya di pantai. Praktis, sepanjang pantai timur dan selatan Korsel padat dengan PLTN.

Di lokasi yang saya tinjau ini, misalnya. Bukan hanya PLTN yang sudah ada sebanyak 4 unit tetap beroperasi, bahkan akan ditambah lagi dua unit baru. Dua unit baru ini saya lihat sedang giat-giatnya diselesaikan. Terlihat begitu banyak pekerja di kedua proyek itu. Korsel yang dikenal disiplin pada jadwal proyek itu memang ingin menyelesaikan dua proyek PLTN itu satu bulan lebih cepat dari jadwal seharusnya: akhir tahun ini juga.

Dua unit yang sedang dalam penyelesaian itu salah satunya dibangun grup Samsung. Rupanya, Samsung pun sudah merambah ke bidang pembangunan PLTN. Ini bukan kunjungan saya yang pertama ke PLTN. Tahun lalu saya ke PLTN Genka di Kyushu, Jepang. Namun, baru kali ini saya melihat proyek PLTN yang sedang dikerjakan. Inilah kesempatan baik bagi saya untuk melihat "jantung?-nya PLTN yang tidak mungkin bisa dilihat lagi setelah proyek itu selesai.

Kebetulan tahap pembangunan PLTN oleh Samsung ini sudah mencapai titik menjelang akhir. Bangunan fisik reaktornya sudah jadi, namun masih bisa dimasuki untuk melihat dalamnya. Bagian-bagian yang berada di bawah air sudah dipasang. Tapi, karena airnya sangat jernih, bagian tersebut masih bisa dilihat samar-samar. Reaktornya sendiri yang kelak diisi uranium itu belum dipasang, tapi sudah siap di sebelah "kolam" itu. Tinggal mengangkat dan memasukkannya ke kolam, disatukan dengan bagian bawahnya yang sudah berada di dalam air.

Peralatan-peralatan lain juga sudah dipasang, tapi masih bisa ditinjau dari jarak dekat: proses steam, turbin, generator, dan ruang kontrol. Berada di dalam kubah besar bangunan PLTN yang sudah jadi, kita bisa melihat tebal dan berlapis-lapisnya material yang sangat khusus untuk dinding kubah itu. Kita juga bisa melihat sistem pendingin yang berlapis-lapis yang sudah tidak akan seperti Fukushima yang memang masih menggunakan teknologi 40 tahun lalu itu.

Ketergantungan Korsel akan PLTN memang tidak bisa dihindari lagi. Sudah terlalu besar peran PLTN untuk pasokan listrik di Korsel: sudah 30%. (30 persennya lagi PLTU batubara dan sisanya PLTG). Kalau PLTN di Korsel dihentikan, ekonomi negara gingseng yang lagi ingin mengalahkan Jepang itu bisa langsung ambruk.

Apalagi Korsel telanjur mengandalkan PLTN bukan hanya untuk kecukupan pasokannya, tapi juga untuk menjaga keandalan listriknya, efisiensinya, dan murahnya harga listrik.

Soal murah ini saya hampir-hampir tidak percaya. Sebab, ketika di Jepang tahun lalu saya mendapat keterangan harga listrik dari PLTN masih USD 17 cent/kWh. Rasanya saya tidak salah mendengar saat itu. Rasanya saya juga sudah mengulangi beberapa kali pertanyaan saya itu dan jawabnya sama: USD 17 cent/kWh. (Baru setelah di PLN saya tahu bahwa dalam menulis kWh, huruf W-nya harus besar karena berasal dari nama orang yang menemukan listrik, James Watt).

Tapi, di Korsel ini saya mendapat penjelasan yang sangat mengejutkan. Harga listrik dari PLTN hanya USD 3,9 cent/kWh. Untuk rupiah sekarang, ini hanya sekitar Rp 350/kWh. Bandingkan dengan harga listrik dari PLTU batubara yang kini sudah mencapai Rp 600/kWh. Atau bandingkan dengan harga listrik yang diproduksi dengan minyak solar di Tambak Lorok (Semarang) atau di Muara Tawar, Tanjung Priok dan Muara Karang (semuanya di sekitar Jakarta) yang saat ini mencapai Rp 3.000/kWh. Praktis, 10 kali lipat lebih mahal daripada listrik nuklir Korsel. Apalagi, kalau dibandingkan dengan produksi listrik di pulau-pulau luar Jawa yang mencapai Rp 3.500/kWh.

Saya sungguh mengira salah dengar. Lebih lima kali saya mengulangi pertanyaan saya itu. Khawatir masih salah dengar, saya minta dituliskan di atas kertas. Mula-mula saya yang menuliskannya. Dia pun membenarkan. Lalu saya minta dia sendiri yang menulis. Ternyata sama: USD 3,9 cent/kWh.

Saya masih takut teperdaya. Ketika mengunjungi PLTA (pembangkit listrik tenaga air) pumped storage di Yang Yang, tiga jam naik mobil dari Seoul, saya bertanya ke pejabat tinggi Kepco (PLN-nya Korsel). Ini berarti saya bertanya ke pihak pembeli. Saya ingin membandingkan keterangan pihak PLTN (penjual listrik) dengan keterangan Kepco sebagai pihak pembeli (untuk disalurkan ke masyarakat).

Pertanyaan saya: berapakah Kepco membeli listrik dari pembangkit-pembangkit nuklir? Jawabnya: USD 3,9 cent/kWh.

Bahkan, pejabat tinggi "PLN Korsel" itu menuliskan daftar harga listrik yang dia beli dari berbagai jenis pembangkit. Nuklir 3,9 cent, PLTU batubara: 6,0 cent, PLTA: 13,8 cent, PLTA pumped storage: 20,1 cent.

PLTA pumped storage menjadi paling mahal karena sifatnya yang khusus. Inilah pembangkit listrik yang menggunakan air, tapi hanya dijalankan lima jam sehari, yang disebut waktu beban puncak. Kalau di Indonesia, beban puncak itu terjadi antara pukul 6 sore sampai 10 malam, ketika semua orang menyalakan listrik di rumah masing-masing.

Pada jam-jam seperti itu semua air di waduk yang di atas sana ditumpahkan ke turbin untuk menghasilkan listrik. Setelah pukul 10 malam, ketika rumah-rumah mulai mematikan listrik, operasi dihentikan. Air yang sudah diterjunkan ke waduk bawah tadi dipompa lagi ke atas dimasukkan ke waduk atas. Begitulah terus-menerus sepanjang hari. Airnya diputar dengan cara yang amat mahal.

Untuk kali pertama PLN akan membangun proyek seperti ini di Cisokan, dekat Bandung. Setelah diadakan penelitian, untuk seluruh Jawa hanya satu tempat ini yang bisa dipakai untuk pembangkit listrik sistem khusus ini.

Setelah mendapat keyakinan harga tadi, barulah saya mengerti mengapa industri di Korsel bisa mendapat harga listrik lebih murah dari Indonesia. Padahal, di Tiongkok saja, yang harga-harga barangnya lebih murah, listrik untuk industrinya lebih mahal dari Indonesia.

Dari sini juga saya tahu bahwa mati lampu di Korsel menjadi yang terbaik di dunia. Setahun hanya mati lampu 3 menit. Salah satunya karena pasokan listriknya sangat andal. (Indonesia: 2009 mati lampu 150 kali; 2010 turun jadi 50 kali; 2011 ini ditargetkan hanya 9 kali rata-rata per pelanggan per tahun).

Dari sini pula saya bisa maklum mengapa pemerintah Uni Emirat Arab tidak membatalkan proyek nuklirnya. Samsung juga yang akan mengerjakan empat unit PLTN di Uni Emirat Arab, masing-masing 1.400 MW itu. "Kami terus bekerja di sana," ujar pejabat tinggi Samsung yang menemani saya.

Tapi, tidakkah rakyat Korsel takut akan terjadi seperti di Fukushima? Itu yang membuat saya bertanya-tanya. Kalaupun pemerintahnya tidak terpengaruh, apakah rakyatnya juga tidak takut" Saya pun mencari kesempatan untuk menanyakan hal itu kepada orang biasa di keramaian Kota Seoul. Ada yang pekerjaannya sopir, ada juga yang pegawai kantor swasta.

Pertanyaan yang saya ajukan sama: apakah tidak takut dengan listrik nuklir? Jawabnya mirip-mirip: ada juga ketakutan itu, tapi tidak seberapa besar. Lalu saya bertanya lagi: seandainya rasa takut itu dibuat skala antara 1 (tidak takut sama sekali) sampai 100 (sangat takut), di skala berapakah ketakutan Anda itu? Jawab mereka juga miri-mirip: di antara skala 15 sampai 20. Wallahualam.

Dahlan Iskan
CEO PLN

Energi Berkelanjutan Untuk Pembangunan Nasional

Judul di atas adalah judul seminar internasional yang diselenggarakan oleh MPEL bersama METI pada tanggal 9 mei 2011 di Hotel Sultan Jakarta. Pembicara utama dalam seminar tersebut adalah Patrick Moore, seorang ahli ekologi terkenal yang pernah memimpin Greenpeace International dan pada tahun 1986 menghentikan kegiatannya dalam Greenpeace karena merasa kebijakan Greenpeace untuk tidak membedakan atau memisahkan program pembangunan PLTN dari perlombaan senjata nuklir adalah sikap yang amat keliru. Beliau menganggap program PLTN dunia adalah bermanfaat dan berpeluang untuk mengurangi emisi karbon.

Pidato Pembukaan Acara Seminar oleh Ketua MPEL

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bp. Menteri/Wakil, Para Penjabat Pemerintah, Dr. Patrick Moore, Para Undangan Yth., Hadirin Sekalian,

Perkenankanlah kami untuk pertama-tama memperkenalkan MPEL Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan serta METI Masyarakat Energi Baru dan Tebarukan Indonesia sebagai pelaksana acara Seminar Internasional pada hari ini dan acara Lainnya yang diselenggarakan nanti dan besok pada tanggal 10 Mei 2011.
MPEL didirikan oleh perkumpulan lanjut usia mantan pegawai BATAN dan mengadakan pengkajian serta mempromosikan masalah antar-muka energi dan lingkungan. MPEL mendukung transportasi massa dalam kota besar, tidak mendukung pembangunan jalan tol di Pulau Jawa, mendukung pengembangan double-track kereta-api dan juga kenaikan secara bertahap harga energi di Indonesia sampai ke tingkat keekonomian.
METI adalah saudara tua kami dan telah lebih lama berkiprah mengadakan pengkajian semua jenis energi EBT serta mempromosikannya.

Kedua organisasi turut mendukung pilihan energi nuklir untuk pembangkitan listrik di Indonesia. Karena itu keduanya ikut serta dalam gabungan dengan beberapa LSM lainnya dalam Forum Komunikasi Masyarakat Nuklir Indonesia FKMNI mempersiapkan acara Pernyataan Sikap yang diselenggarakan pada tanggal 3 Februari 2010.
Adapun pertimbangan untuk diselenggarakannya acara Pernyataan Sikap tersebut adalah antara lain:
Pertumbuhan ekonomi yang pesat yang diinginkan oleh rakyat Indonesia menuntut dipenuhinya kebutuhan akan energi yang meningkat dengan pesat pula, khususnya listrik yang pengembangannya tertinggal;
Keterbatasan daya-beli masyarakat, ysng berakibat mengurangi pilihan jenis sumber energi, sehingga belum memungkinkan privatisasi sistem kelistrikan nasional, kesemuanya ini menyebabkan pilihan sementara jatuh pada batubara;
Kenyataan kenaikan harga energi primer yang mengacu pada minyak, yang meningkat terus;
Bakal meningkatnya pemanfaatan batubara, yang berarti dampaknya berupa kendala dalam pengangkutan dari tambang ke Pulau Jawa akan semakin ketat, demikian pula dampaknya terhadap lingkungan, selain harga listrik yang meningkat;
Kenyataan prestasi PLTN di dunia dengan telah beroperasinya lebih dari 420 PLTN secara andal dan ramah lingkungan serta menekan tarif listrik.

Namun dengan telah terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima, seakan-akan telah membuat sirna gambaran tentang keuntungan serta manfaat pemakaian PLTN sebagai pembangkit listrik. Saat ini dampak Fukushima masih dalam proses pengkajian, yang kemungkinan akan memakan waktu hingga 6 bulan lagi.
Walaupun demikian untuk sementara dapat disimpulkan beberapa hal penting.
1. Kecelakaan Fukushima telah dinyatakan setara dengan kegawatan kecelakaan Chernobyl. Namun kenyataannya adalah: walaupun seperti Chernobyl, tetapi lebih kecil. Radioaktivitas yang tersebar diperkirakan 10% daripada Chernobyl.
2. Tidak ada reaktor yang meledak, yang ada adalah ledakan akibat gas hidrogen dalam bangunan/gedung, bukan bejana reaktor. Tidak ada korban jiwa akibat radiasi. Yang ada adalah korban kecelakaan dalam industri, hal yang biasa.
3. Adanya radioaktivitas yang lepas ke lingkungan adalah akibat penglepasan gas dari reaktor untuk mencegah kemungkinan kerusakan pada bejana reaktor. Kebocoran radioaktivitas telah dapat ditangani, sehingga untuk selanjutnya diperkirakan bersifat lokal.
Berdasarkan hal-hal tersebut kami memberanikan diri untuk menyatakan tetap tegarnya pilihan teknologi nuklir, sekalipun saat ini masih ada keraguan.

Jatuhnya pilihan terhadap nuklir adalah terutama dari segi ekonomi jangka panjang.
Minyak dan gasbumi terlalu mahal, minyak saat ini sudah melewati $ 110/bbl, sehingga harga energi lainnya terseret naik.
Panasbumi terbatas, karena walaupun dari segi sumberdaya perkiraan jatuh sekitar 27000 MW tetapi yang dapat direalisasikan hanyalah sekitar sepertiga. Sebabnya adalah ia sulit direncanakan dengan pasti.
Biaya modal PLTN lebih tinggi daripada jenis pembangkit lainya, tetapi dengan sistem kelistrikan masih berbentuk monopoli BUMN, ekonomi pembangkitan listrik nuklir tetap unggul ketimbang yang lainnya.
Impor teknologi dan bahan bakar nuklir meningkatkan optimalisasi sumberdaya energi karena batubara, minyak dan gasbumi bisa diekspor apabila tidak digunakan di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah.

Akhir-akhir ini pilihan nuklir dipacu oleh upaya penanggulangan pemanasan global.
Indonesia pun ikut, dengan dicanangkannya sasaran pengurangan 26% pada tahun 2025. Peran gas rumah kaca dalam sektor energi Indonesia relatif lebih kecil ketimbang sektor lainnya seperti kehutanan.
Status pemanasan global saat ini: telah timbul kekhawatiran bahwa upaya mengurangi emisi gas rumah kaca masih jauh dari memadai. Upaya untuk mengurangi kenaikan suhu hanya sebatas 2 derajat Celsius ditengarai dapat mengalami kegagalan.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka MPEL dan METI bersepakat untuk mengadakan acara dua hari ini dan untuk mendapatkan masukan dari salah seorang tokoh pembangunan berkelanjutan. Dr. Patrick Moore adalah seorang tokoh internasional.
Kami juga turut mengundang seorang perwakilan dari Jepang untuk memberikan pencerahan mengenai kecelakaan PLTN Fukushima serta untuk mengetahui upaya penanggulangan bahaya dan perlindungan terhadap masyarakat sekitar.
Sudah barang tentu tidak luput pula kami mengundang wakil Pemerintah, wakil rakyat dari Komisi VII DPR dan wakil Akademisi serta anggota Dewan Energi Nasional.

Semoga presentasi dalam acara dua hari ini, dan khususnya acara pada hari ini, akan memberikan pencerahan dan masukan penting bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.