Kamis, 18 Maret 2010

Obama : "Go Nuclear"

Oleh : Markus Wauran

Dewasa ini 436 PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir) beroperasi di dunia, tersebar di 32 negara. Amerika Serikat memiliki 104 PLTN, terbanyak dibandingkan dengan negara-negara lain. PLTN pertama AS mulai beroperasi pada 2 Desember 1957 dengan kapasitas 60 MWe lokasinya di Shippingport, Pennsylvania.
Kehadiran PLTN di AS bukan tanpa tantangan dan hambatan. Beriringan dengan kehadirannya, muncul berbagai gerakan terorganisir yang menentang, termasuk menentang pengembangan dan percobaan senjata nuklir. Sampai saat ini, ada 70-an LSM yang menentang kehadiran PLTN, maupun senjata nuklir di AS. Alasan kemanusiaan, lingkungan, keselamatan, efisiensi/ekonomi menjadi tema utama penolakannya. Kelompok penentang ini terdiri dari berbagai kalangan mulai dari scientists, engineers, politisi, pemerhati lingkungan.
Antara tahun 70-an sampai 80-an gerakan anti PLTN telah menaruh perhatian besar bagi masyarakat AS, karena di antara masa tersebut setiap tahun terjadi berbagai demo dan protes. Banyak pendemo yang ditangkap, seperti demo 2 Mei di PLTN Seabrook New Hampshire, pendemo yang ditahan 1414 orang, September 1981 demo di Diablo Canyon, lebih dari 900 pendemo ditahan.
Gerakan anti PLTN ini memuncak setelah terjadi kecelakaan PLTN Three Mile Island (TMI) dekat Harrisburg, Pennsylvania pada 28 Maret 1979, walau tanpa korban. Tingkat kecelakaan Reaktor TMI masuk level 5 kategori INES (International Nuclear Evident Scale). Kecelakaan TMI ini telah menjadi tema sentral LSM AS dalam kampanyenya menolak PLTN yang menggema ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Setelah kejadian TMI yang diikuti dengan berbagai demo, bukan berarti tidak ada pembangunan PLTN di AS. Pada tahun 1980, saat Jimmy Carter memerintah, ada tambahan 2 unit PLTN yang beroperasi dan antara tahun 1981-1993, saat Presiden Ronald Reagan dan Presiden George HW Bush berkuasa, ada tambahan 47 unit PLTN. Pada saat Presiden Bill Clinton berkuasa (1993-2001) hampir tidak ada sama sekali, hanya ada tambahan 2 unit yang beroperasi di Texas dan Tennessee. Pada saat Presiden George W Bush (Yunior) berkuasa, (2001-2009), juga tidak ada, hanya satu unit yang sedang dibangun di Tennessee, dan diperkirakan beroperasi tahun 2012.
Memasuki awal abad ke-21, dunia diperhadapkan pada dua tantangan besar yaitu krisis lingkungan dan krisis energi. Krisis lingkungan ditandai dengan global warming dan climate change yang disebabkan meningkatnya emisi CO2 di armosfer yang dihasilkan oleh industri yang menggunakan bahan bakar fosil dan oleh transportasi.
Konperensi Kopenhagen Desember tahun lalu menghasilkan komitmen berbagai negara untuk mengambil langkah konkrit mengurangi emisi CO2, kecuali AS dan beberapa negara tidak menandatangani komitmen tersebut. Indonesia berkomitmen untuk mengurangi 26%.

Diversifikasi
Krisis energi yang puncaknya terjadi tahun 2008 dengan harga minyak mencapai US$150 per barel tertinggi sepanjang sejarah, menyadarkan banyak negara, bahwa perlu diambil langkah diversifikasi penggunaan sumber daya energi untuk kebutuhan listrik dan tidak hanya tergantung pada sumber energi fosil. Banyak negara kemudian mengambil opsi PLTN karena berdasarkan pertimbangan yang rasional, obyektif dan strategis.
Menghadapi krisis lingkungan dan energi yang saling mengkait saat ini, serta mengantisipasi masa depan kepentingan rakyat AS, maka setelah Konperensi Kopenhagen Desember 2009, Presiden Obama mengambil opsi “Go Nuclear”. Tegasnya, membangun kembali PLTN di AS setelah sekitar satu dekade terhenti.
Opsi itu disampaikan dalam pidato tahunannya di depan Kongres AS akhir Januari 2010. Presiden Obama mengatakan “But to create for more of these clean energy jobs, we need more production, more efficiency, more incentives. That means building a new generation of safe, clean nuclear power plants in this country”. Sebagai tindak lanjut dari Pidatonya di depan Kongres tersebut, maka beberapa hari yang lalu Presiden Obama mengumumkan akan dimulai lagi pembangunan PLTN di AS dengan dana jaminan pinjaman sebesar US$ 8,33 miliar. Dua Reaktor PLTN yang baru akan dibangun di negara bagian Georgia. Pembangunan dua unit ini hanya sebagai tahap awal untuk rencana pembangunan 32 unit sebagaimana yang telah diajukan oleh Koalisi Energi Bersih dan Aman yang diketuai oleh mantan Gubernur New Jersey Christine Tood Whitman.
Penulis mencatat ada beberapa alasan yang dikemukakan Obama sehingga dia memilih opsi PLTN. Pertama, membuka kesempatan kerja. Proyek PLTN menciptakan sekitar 3.000 pekerjaan konstruksi dan 850 orang akan dipekerjakan secara tetap setelah beroperasi. Kedua, kebutuhan energi dan kepentingan lingkungan, dengan mengatakan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan energi kita dan mencegah kemungkinan terburuk dari perubahan iklim, kita perlu meningkatkan suplai energi dari nuklir. Masalahnya sesederhana itu. Untuk mempertegas pernyataan ini, Direktur Gedung Putih Bidang Energi dan Kebijakan Perubahan Iklim, Carol Browner mengatakan bahwa ”Presiden Obama percaya nuklir adalah bagian dari energi masa depan kita. Saya pikir jika anda percaya seperti kita bahwa perubahan iklim adalah masalah serius yang perlu perhatian khusus, di mana kita harus mencari segala cara untuk memproduksi energi yang bersih, nuklir adalah salah satu solusinya”.
Ketiga, penguasaan teknologi baru, dalam kaitan ini Presiden Obama mengatakan bahwa “opsi PLTN ini hanyalah permulaan dari upaya untuk mengembangkan generasi baru teknologi energi bersih, aman dan efisien yang akan membantu melawan perubahan iklim.” Keempat, harga diri dan kemandirian bangsa. Dari sisi ini, Obama menegaskan bahwa negara lain banyak yang sedang membangun PLTN baru. Jika kita tidak menginvestasikan teknologi itu sekarang, kita akan mengimpornya hari esok.
Kelima, Amerika harus unggul, dengan menegaskan bahwa memberikan insentif untuk efisiensi energi dan energi bersih adalah hal yang benar untuk masa depan kita, karena bangsa yang memimpin ekonomi dengan energi bersih adalah bangsa yang memimpin ekonomi dunia, dan negara itu haruslah Amerika.
Dari uraian di atas, jelas opsi Nuklir/PLTN yang dicanangkan oleh Obama setidaknya memiliki dua tujuan strategis yaitu pertama, demi kesejahteraan rakyat AS untuk tetap unggul dalam kehidupan global, dan kedua demi kemanusiaan sejagad sebagai tanggung jawab moral AS untuk memperbaiki lingkungan global yang rusak, di mana AS memiliki kontribusi yang besar.
Opsi nuklir yang dicanangkan Obama dengan jaminan pinjaman Pemerintah Federal bukan berarti sepi dari kritik. Walaupun dalam tradisi Partai Republik pro nuklir PLTN dan Partai Demokrat pro energi terbarukan, namun banyak pendukung Partai Republik menentang kebijakan tersebut. Demikian pula dengan LSM/Kelompok Lingkungan Hidup yang dimotori oleh Sierra Club dimana Direktur Utamanya Carl Pope mengatakan bahwa “kita harus memprioritaskan pada energi yang paling bersih, murah, aman dan cepat untuk mereduksi emisi dan energi nuklir tidaklah bersih, murah, cepat ataupun aman”.
Walau menyadari kebijaksanaannya akan menghadapi tantangan, Obama telah tampil secara berani sebagai seorang nasionalis sejati yang sangat manusiawi, dengan mengambil opsi nuklir dia siap menanggung segala resiko demi kepentingan rakyat AS dan kemanusiaan sejagad.
Indonesia sebagai negara demokrasi dengan sistim presidensiil, sikap berani mengambil keputusan, siap menghadapi resiko atas keputusan yang diambil demi kepentingan rakyat sebagaimana ditampilkan secara lugas oleh Presiden Obama, perlu dicontoh oleh pemerintah Indonesia dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa yang rumit, khususnya bidang energi dan lingkungan. Semoga dan jangan sampai terlambat terus sehingga nasi menjadi bubur.

Dimuat di Suara Pembaruan pada tangal 18 Maret 2010
Penulis adalah Anggota DPR/MPR 1987-1999, Pengurus HIMNI dan IEN
________________________________________