Sabtu, 26 Desember 2009

Direksi PLN dan Tarif Listrik

Akhir-akhir ini beberapa Yahoo-chatgroup ramai membicarakan pengangkatan Dirut Jawa Pos menjadi Dirut PLN. Kalau tidak salah, ini bukan pertama kalinya seseorang dari luar PLN diangkat oleh Pemerintah menjadi Dirut PLN. Di zaman Orde Baru Dr. Zuhal pernah diangkat menjadi Dirut PLN; beliau dari BPPT.

Pengangkatan orang luar tentu akan menimbulkan masalah bagi jajaran SDM PLN, karena merasa tidak ada yang dianggap kompeten untuk memimpin. Jenjang karier pun terganggu. Dirut yang digantikan pun belum lama menjabat sebagai Dirut PLN. Tentu beliau bertanya: apa kesalahannya ? Sudah tentu bukan karena gardu induk terbakar dan menyebabkan pemadaman listrik bergilir di Ibukota.

Saya setuju dengan pendapat bahwa masalah yang dihadapi PLN bukanlah masalah kompeten atau tidaknya Direksi PLN. Masalah sesungguhnya yang dihadapi oleh PLN adalah masalah keuangan: pendapatan PLN kurang dibandingkan dengan pengeluaran. Hal ini sudah berlangsung cukup lama dan berakar pada keengganan Pemerintah untuk menaikkan tarif listrik. Keengganan cukup masuk akal, karena pembangkitan listrik dari PLTU batubara berukuran besar berkisar tidak lebih dari 5-6 sen/kWh. Sebaliknya kondisi PLN adalah memiliki 4000 lebih pembangkit diesel yang terpaksa memakai minyak solar, yang harganya dinaikkan oleh Pemerintah dari Rp 2500/liter menjadi Rp 4500/liter pada 1 Oktober 2005. Sehingga biaya pokok PLN menjadi di atas 9 sen/kWh.

Masalah pokoknya adalah hubungan Direksi PLN dengan Pemerintah, dalam hal ini Presiden, Dewan Energi Nasional (yang baru dibentuk), Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Menteri BUMN. Kedudukan Direksi PLN terlalu jauh dari Pemerintah, sehingga berakibat sulitnya komunikasi tentang masalah tarif listrik. Karena masalah utamanya adalah tarif listrik PLN yang berlaku, untuk keadaan PLN saat ini, adalah terlalu rendah. Untuk keadaan PLN 3-6 tahun lagi, dengan telah selesainya proyek 10000 MW ke-1 dan ke-2, tarif listrik berdasarkan TDL sekarang mungkin akan sedemikian meringankan PLN sehingga tidak memerlukan subsidi lagi. Namun PLN tetap kekurangan dana untuk investasi baru.

Pemecahan masalah yang dihadapi PLN sekarang adalah: bagaimana menaikkan tarif TDL tanpa menimbulkan gejolak masyarakat pelanggan PLN. Ini bukan soal teknis lagi, melainkan soal politik. Makanya saya pikir, walaupun kurang sreg dengan pengangkatan Dirut Jawa Pos menjadi Dirut PLN karena beliau punya kepentingan pribadi sebagai pemilik PLTU, barangkali Dirut baru akan dapat mencarikan jalan bagi Pemerintah dalam merumuskan kebijakan baru TDL. Karena kiprah beliau membuatnya “dekat” dengan SBY.

Di mana2, setahu saya, tarif listrik RT lebih tinggi ketimbang tarif listrik industri karena daya tersambungnya kecil dan pemakaian listriknya juga kecil. Hanya di Indonesia sudah berpuluh tahun terbalik, tarif listrik rumah kecil amat rendah: Rp. 20000/bulan untuk 60 kWh (CMIIW). Jumlah pelanggannya hampir 30 juta !
Hemat saya, tarif listrik rumah kecil ini justru selayaknya dijadikan sasaran "penyesuaian". Caranya tentu harus secara bertahap, dengan prosentasi kecil (5-10 persen) setiap 3 bulan, misalnya.

Demikian pendapat dan saran saya, semoga mendapat perhatian dari Direksi PLN yang baru dan dari Pemerintah !

Budi Sudarsono
Ketua MPEL

Jumat, 28 Agustus 2009

Kabinet Baru dan Nasib PLTN

oleh Markus Wauran

Pada hari Selasa, 18 Agustus 2009, Komisi Pemilihan Umum menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 8 Juli 2009. Berbagai pihak menggantungkan harapan pada kepemimpinan SBY-Boediono masa bakti 2009-2014, dengan berkaca pada kepemimpinan SBY-JK 2004-2009 dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Harapan yang paling mendasar, tentunya berupa langkah terobosan yang kreatif, inovatif dan berani untuk mendayagunakan secara maksimal berbagai potensi domestik serta investasi asing sebagai pelengkap untuk memacu pembangunan nasional yang prorakyat.
Selama era reformasi, beberapa kali terjadi krisis energi, karena kenaikan harga minyak, sehingga sangat berpengaruh pada perekonomian nasional. Tidak ada yang menjamin bahwa krisis energi, akibat kenaikan harga minyak, tidak akan terulang lagi. Karena itu, perlu langkah-langkah antisipasi yang pasti di mana apabila harga minyak naik tidak akan mempengaruhi perekonomian nasional.
Salah satu terobosan itu melalui penyediaan energi yang cukup, murah, dan berkesinambungan, dengan membangun PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir). Persiapan penelitian, pemanfaatan dan pengembangan iptek nuklir telah dimulai pada awal 1950-an, yang diawali dengan pembangunan kelembagaan, per-undang-undangan, sumber daya manusia, kerja sama luar negeri serta pembangunan berbagai fasilitas fisik. Semua sumber itu telah digunakan untuk kepentingan penelitian, pemanfaatan dan pengembangan iptek nuklir. yang dewasa ini tersebar di berbagai tempat, serta persiapan pembangunan PLTN.
Persiapan Indonesia sejak awal 1950-an bersamaan dengan yang dilakukan oleh Mesir, India, dan Pakistan. Namun, dalam pembangunan PLTN, Indonesia paling ketinggalan dibandingkan dengan India, yang dewasa ini memiliki 17 unit PLTN dan sedang dibangun 6 unit lagi, Pakistan memiliki 2 unit PLTN dan sedang dibangun 1 unit, dan Mesir sudah pasti akan memulai pembangunan PLTN berkapasitas 1.000 MW yang terletak di El Dabaa, bekerja sama dengan Rusia. Apalagi dibandingkan dengan Korea Selatan, yang juga hampir bersamaan dengan Indonesia dalam memulai persiapannya, Indonesia sangat jauh ketinggalan dalam pembangunan PLTN, walaupun SDM yang menguasai iptek nuklir tidak kalah dari yang dimiliki oleh negara-negara itu. Saat ini Korea Selatan memiliki 20 unit PLTN dan 5 lagi sedang dibangun.

Sinyal

Rencana konkret untuk pembangunan PLTN sebenarnya dimulai pada masa Orde Baru. Pada saat itu, Presiden Soeharto dalam berbagai kesempatan peresmian fasilitas iptek nuklir di Serpong tahun 1980-an dan awal 1990-an telah memberikan sinyal yang pasti. Studi tapak telah selesai dan keputusannya akan dibangun di Semenanjung Muria, pantai utara Jawa Tengah. Puncak persiapannya adalah dengan terbitnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenagaan Nuklir. Namun, rencana ini tidak menjadi kenyataan karena Soeharto jatuh dari puncak kekuasaannya.
Pada awal era reformasi, rencana pembangunan PLTN seperti terkubur, tidak ada beritanya sama sekali. Hal ini disebabkan krisis ekonomi yang parah melanda bangsa ini. Setelah terjadi beberapa kali krisis minyak yang memberikan pengaruh yang sangat buruk bagi perekonomian global dan nasional, banyak megara di dunia kembali memilih opsi PLTN untuk mengatasi krisis energi. Krisis energi yang terjadi pada 2008 dengan gejolak harga minyak mencapai US$ 150 per barel, tertinggi sepanjang sejarah, lebih menguatkan lagi berbagai negara untuk secara pasti memilih opsi PLTN. Indonesia pun tidak terkecuali, bahkan sebelum krisis energi terparah pada 2008, pada 2005 pemerintah telah menyusun BPEN (blue print pengelolaan energi nasional) 2005-2025, di mana dalam Lampiran P3.1 tentang Roadmap Industri Energi Nuklir 2025 ditetapkan bahwa pembangunan PLTN unit 1 dan 2 dimulai tahun 2011 dan akan beroperasi pada 2016 dan sampai 2025 akan beroperasi 4 unit PLTN.
Blue print ini kemudian diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional di mana dalam Pasal 2 ayat 2b butir 6 ditegaskan bahwa energi baru dan terbarukan lainnya khususnya biomasa, nuklir, tenaga air skala kecil, tenaga surya, dan tenaga angin, perannya terhadap konsumsi energi nasional menjadi lebih dari 5%.
Kebijakan tersebut di atas menjadi titik terang bagi rencana pembangunan PLTN di Indonesia. Berbagai delegasi dari Prancis, Jepang, dan Korea Selatan datang ke Indonesia untuk bernegosiaisi membangun PLTN. Sebaliknya Presiden SBY juga berkunjung ke luar negeri untuk menjajagi kemungkin kerja sama di bidang nuklir. Namun, kebijakan Presiden SBY itu dinodai oleh beberapa pembantunya dengan mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan kebijakan itu. Akibatnya, soal telah masuk ranah politik. Berhubung kekuatan pendukung Presiden SBY tidak dominan di parlemen, maka penulis dapat memahami mengapa SBY sangat ber-hati-hati menindaklanjuti pembangunan PLTN.

Sosialisasi Lemah

Dari uraian di atas, terjadinya gonjang-ganjing rencana pembangunan PLTN di Indonesia disebabkan beberapa hal. Pertama, pemerintah tidak kompak, sehingga melemahkan dirinya sendiri. Kedua, sosialisasi sangat lemah, karena tidak terkoordinasi secara kuat dan rapi. Ketiga, dukungan pers sangat kurang dan ke-empat, diplomasi nuklir lemah.
Untuk membangun PLTN di Indonesia, sebenarnya semua segi telah memenuhi syarat, mulai dari tapaknya setelah melalui berbagai studi penelitian, SDM, perangkat hukum, kelembagaan, sampai pada pendanaan. Karena PLTN telah masuk ke ranah politik, maka yang dibutuhkan sekarang adalah dukungan politik dari rakyat (DPR) dan keputusan politik dari pemerintah. DPR masa bakti 2004-2009 melalui KomisiVII telah memberikan dukungan politik bagi pembangunan PLTN.
Mengingat SBY-Boediono memiliki dukungan politik yang luas dan mayoritas di DPR, berarti dukungan politik bagi penjabaran PP No. 5 Tahun 2006 dalam bentuk keppres untuk pembangunan PLTN tidak menjadi masaalah. Jadi, "bola" sekarang berada di tangan Presiden SBY. Tegasnya, jadi-tidaknya pembangunan PLTN sangat bergantung pada keputusan politik presiden.
Harus diakui bahwa para ahli iptek nuklir di Indonesia risau dan prihatin akan keberadaan mereka. Ada kesan, pemerintah, selama era reformasi, tidak memperhatikan pembangunan iptek pada umumnya dan iptek nuklir pada khususnya. Sumber daya manusia di bidang ini seolah-olah dianak-tirikan. Prioritas selalu diberikan kepada SDM bidang ekonomi dan lain-lain. Buktinya, pada pemilu yang lalu, tidak ada calon yang secara lantang memasukkan pembangunan iptek sebagai programnya. Padahal, semua pihak mengakui bahwa tidak mungkin pertumbuhan ekonomi maju jika tidak didukung oleh iptek.
Masyarakat nuklir di Indonesia, yang didukung berbagai pihak, tentunya sangat mendambakan agar Presiden SBY setelah dilantik nanti pada 20 Oktober 2009, dalam program 100 hari mencanangkan secara konkret dimulainya pembangunan PLTN. Apabila tidak, berarti PLTN "sayonara" dan berbagai fasilitas iptek nuklir yang dibangun tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal dan banyak SDM menjadi terlantar.
Penulis yakin, dengan kokohnya kekuasaan Presiden SBY, rencana pembangunan PLTN, sebagaimana telah dituangkan dalam BPEN 2005-2025 dan PP No. 5 Tahun 2006, akan dikonkretkan pada awal masa jabatannya nanti. Satu hal yang didambakan masyarakat nuklir, kabinet nanti hendaknya terdiri dari putra-putra terbaik bangsa yang loyalitasnya tidak ganda dan tidak membuat pernyataan yang menentang kebijakan presiden.

Penulis adalah anggota DPR/MPR masa bakti 1987-1999 dan pemerhati PLTN

Sabtu, 04 Juli 2009

Energi Nuklir Bagaikan Hantu

Di Indonesia energi nuklir diperlakukan bagaikan hantu - tidak dipandang sebagai bahan untuk wacana publik tetapi dimuat di surat kabar hanya untuk menakut-nakuti pembaca.Padahal di negara Asia Tenggara lain sudah dijadikan program nasional, seperti yang terjadi di Thailand, Malaysia dan Vietnam. Di Singapura belum, karena ia merupakan sebuah negara kota yang terlalu kecil, baik ruang ataupun permintaan listriknya. Bahkan di Filipina juga sudah diberitakan bakal mengoperasikan PLTN satu-satunya di Asia Tenggara yang selesai dibangun tetapi belum pernah dioperasikan.

Mengapa di Indonesia seolah tabu untuk membahas energi nuklir? Bahkan debat capres dan cawapres tidak ada yang berani mengangkat topik energi nuklir. Yakinlah bukan karena semua capres mendukung pembangunan PLTN. Atau karena semua capres menolak kehadiran PLTN di Indonesia? Tampaknya hanya karena semua pihak beranggapan bahwa topik tersebut terlalu peka secara politis dan hal ini disebabkan sejak awal tahun 2007 telah muncul demo-demo yang menolak pembangunan PLTN.Terlepas dari kenyataan bahwa demo-demo tersebut ada pihak bermodal yang merekayasa.

Perkembangan ini patut disesalkan. Masalahnya, sudah selayaknya soal pembangunan PLTN di tanah air dijadikan topik yang hangat dalam suatu wacana publik yang melibatkan semua pihak. Biar benar-benar dibahas tuntas seluruh aspek manfaat dan mudharatnya. Hanya dengan demikian kita sebagai bangsa dapat mengambil keputusan yang tepat demi kemajuan dan kemakmuran bangsa di masa depan.

Rabu, 24 Juni 2009

Press Release Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan

Sehubungan dengan berita Kompas tertanggal 22 Juni 2009 berjudul Nuklir Bukan Solusi Perubahan Iklim dengan ini Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) menyampaikan pendapat sebagai berikut:

1.Energi nuklir harus menjadi bagian dari solusi perubahan iklim global karena pembangkitan listrik dengan energi nuklir melalui pembangunan dan pengoperasian PLTN merupakan salah satu opsi pembangkitan listrik yang ramah lingkungan, karena PLTN termasuk pembangkit energi listrik yang paling sedikit mengeluarkan emisi karbon.

2.Emisi karbon dalam proses pembangkitan listrik memang tidak terhindarkan baik melalui pemanfaatan energi nuklir (PLTN) atau pun energi terbarukan lainnya, karena selama masa pembangunan PLTN ataupun pembangkit listrik lainnya niscaya akan digunakan energi fosil sebagai sumber emisi kabon.
Namun jumlah emisi karbon tersebut relatif sangat sangat kecil apabila dibandingkan dengan pembangkitan listrik dengan energi fosil.

3.Pemanfaatan energi nuklir sebagai pembangkitan energi listrik (PLTN) menyisakan bahan bakar bekas yang bersifat radioaktif dan berpotensi bahaya. Akan tetapi bahan tersebut wajib disimpan dan dikelola oleh operator PLTN serta diawasi secara ketat oleh lembaga nasional yang berwenang yaitu Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), ataupun lembaga internasional yaitu International Atomic Energy Agency (IAEA). Pengalaman operasi 436 PLTN di seluruh dunia membuktikan bahwa pengelolaan zat radioaktif dalam bentuk bahan bakar bekas dapat terlaksana dengan aman dan tidak membawa bahaya bagi penduduk sekitar.

4.MPEL sangat menyayangkan pemuatan pernyataan Greenpeace Asia Tenggara oleh Kompas 22 Juni 2009 karena berita tersebut kami anggap tidak lengkap dan tidak seimbang serta cenderung menyesatkan masyarakat pembaca, karena tanpa disertai pernyataan yang serupa dari instansi yang berwenang di Indonesia maupun di dunia internasional yaitu United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Demikian pernyataan pendapat dari Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL).

Jakarta 24 Juni 2009
Ketua MPEL
www.feea3.blogspot.com

Catatan tambahan:
Berita Kompas tersebut mengabaikan perkembangan terakhir di dunia internasional, khususnya kecenderungan dalam rangka United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan mengubah sikapnya terhadap peranan energi nuklir dari sikap menolak peranan energi nuklir ke arah mengharapkan peranan energ nuklir sebagai bagian dari solusi pemecahan masalah perubahan iklim.

Minggu, 21 Juni 2009

Obama Mengubah Peta PLTN Dunia

Suara Pembaruan, 17 Juni 2009

Oleh Markus Wauran

Sejak kecelakaan PLTN Three Miles Island tahun 1979, praktis tidak ada lagi pembangunan PLTN baru di Amerika Serikat. Langkah itu diikuti beberapa negara di Eropa. Bahkan, Jerman, di bawah kepemimpinan Kanselir Schroeder, memutuskan, tahun 2020 tidak ada lagi PLTN yang beroperasi di negara itu. Namun, keputusan Schroeder ini dikoreksi penggantinya Kanselir Angela Merkel. Langkah itu diambil juga karena tekanan LSM, seperti Greenpeace, yang anti-PLTN, sehingga keberadaan PLTN bukan hanya menyangkut masalah teknis dan lingkungan, tetapi menjadi isu politik yang menggema ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Gerakan anti-PLTN yang dimotori LSM mulai kencang suaranya awal 1990-an bersamaan dengan persiapan pembangunan PLTN di Indonesia.

Krisis minyak, yang puncaknya 2008, saat harga minyak US$ 150 per barel, menyadarkan negara-negara industri supaya tidak lagi menggantungkan diri pada minyak. Harus dilakukan diversifikasi untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat. Dari berbagai opsi yang dipertimbangkan, PLTN menduduki urutan teratas. Beberapa tokoh lingkungan global, seperti Dr Patrice Moore, Prof J Lovelock, dan Bruno Comby yang semula antipembangunan PLTN, akhirnya dengan pertimbangan rasional dan objektif mendukungnya untuk mengatasi krisis energi dan lingkungan.

Pada kampanye Pemilihan Presiden AS tahun 2008, rival utama Obama, yakni John Mc Cain dalam pidato kampanye di Houston dan Universitas Missouri, Juni 2008, menyatakan niatnya untuk membuat kebijakan meningkatkan kapasitas nuklir domestik secara signifikan dengan membangun 45 reaktor nuklir sampai 2030. Kanselir Jerman Angela Merkel dalam pidato di depan Konferensi Ekonomi Partai Kristen Demokrat, pertengahan Juni 2008, mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menutup PLTN merupakan kesalahan dan harus direvisi.

Obama, yang memenangkan pemilihan presiden karena mampu meyakinkan rakyat AS dengan isu perubahannya, menggegerkan dunia dalam pidatonya di Praha, 5 April 2009, pada puncak KTT AS-Uni Eropa. Pidato Obama yang menggegerkan itu terkait dengan pernyataannya: "Hari ini saya menyatakan dengan sangat yakin dan jelas komitmen AS untuk mencari perdamaian dan keamanan sebuah dunia tanpa senjata nuklir". Di sisi lain, ada pernyataan Presiden Obama yang sangat maju, yakni "Kita perlu membangun jejaring kerja untuk kerja sama nuklir sipil, termasuk sebuah bank bahan bakar internasional, sehingga negara-negara dapat mengakses energi nuklir untuk tujuan damai tanpa meningkatkan risiko proliferasi. Hal ini merupakan hak tiap negara untuk mengumumkan kembali nuklir, terutama negara-negara berkembang, yang ingin menggunakannya untuk tujuan damai. Yang juga mengejutkan, pidato Obama yang menegaskan: "Kami akan mendukung hak Iran untuk energi nuklir bagi tujuan damai dengan inspeksi yang baik".

Pernyataan Obama itu telah mengubah peta PLTN dunia karena, pertama, setiap negara tanpa rasa takut dan ragu akan menggunakan haknya untuk memanfaatkan energi nuklir karena pasti AS tidak akan intervensi atau menekan asal untuk tujuan damai. Kedua, perubahan iklim dewasa ini, karena kerusakan lingkungan akibat ulah manusia di mana sumbangan bahan bakar fosil cukup besar dibandingkan dengan energi nuklir yang ramah lingkungan, pasti banyak negara akan beralih pada opsi pemanfaatan energi nuklir, karena alasan ekonomi dan lingkungan.

Ketiga, negara-negara di dunia yang semula mengacu/terpengaruh pada kebijaksanaan AS yang menghentikan pemanfaatan energi nuklir untuk membangun PLTN setelah peristiwa Three Miles Island, dengan pernyataan Obama itu, pasti opsi energi nuklir akan menjadi pilihan kembali, karena idolanya AS, berubah sikap.

Keempat, setiap negara yang akan memanfaatkan energi nuklir untuk tujuan damai tidak perlu khawatir tentang pasokan bahan bakar, karena ada bank bahan bakar internasional yang menyediakannya. Kelima, dengan sikap Presiden Obama yang mendukung hak Iran memanfaatkan energi nuklir bagi tujuan damai, maka negara-negara berkembang akan merasa bebas untuk mengambil opsi memanfaatkan energi nuklir bagi tujuan damai.


Di Indonesia

Pembangunan PLTN secara signifikan telah dicanangkan Presiden SBY. Namun, rencana ini terganggu, karena penolakan dari sekelompok masyarakat yang mendapat dukungan dari sejumlah politisi yang tidak konsisten. Sangat memprihatinkan juga karena adanya sikap berseberangan dari pembantu presiden yang tidak sejalan dengan presiden dan menolak rencana pembangunan PLTN dengan alasan yang tidak benar serta tidak mencerdaskan rakyat.

Yang menolak PLTN, baik terorganisasi maupun perorangan, karena mengacu pada sikap AS setelah kecelakaan Three Mile Island. Dengan pernyataan Obama tersebut kiranya tidak akan dicari-cari lagi alasan lain untuk menolak PLTN. Senang atau tidak, pro atau kontra, opsi nuklir untuk mengatasi krisis energi bangsa serta iklim global merupakan opsi prioritas, karena alasan objektif dan rasional, apalagi harga minyak saat ini mulai meningkat. Adalah dosa besar apabila ada yang menolak kehadiran PLTN di Indonesia hanya karena kepentingan sesaat dan pihak lain kemudian mengorbankan kepentingan rakyat banyak.


Penulis adalah Anggota DPR/MPR periode 1987-1999 dan Anggota HIMNI

Rabu, 03 Juni 2009

Apakah Benar Boediono Seorang Neoliberal ?

Berikut ini saya kutip dari masukan seorang anggota Mailing List yang ingin memberi cap “Neoliberal” kepada calon wapres Boediono:

“Tidak mungkin seseorang mempunyai posisi yang begitu strategis di lembaga
multilateral, seperti IMF dan WTO, kalau tidak mendapatkan kepercayaan. Dan
kepercayaan itu tidak mungkin kalau tidak memiliki kesamaan pandangan yang bersifat
ideologis, antara Boediono dengan IMF dan lembaga multilateral itu.

Jelaslah sudah, ada benang merah antara Boediono semasa pemerintahan Megawati duduk sebagai Menteri Keuangan, dengan agenda IMF dan WTO, serta kebijakan privatisasi BUMN,liberalisasi perdagangan, dan pengurangan subsidi.”

Sepintas tampaknya logis dan masuk akal, bukan ? Sebagai seseorang yang tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ekonomi, saya bukannya mau membela Boediono melainkan hanya ingin mengingatkan hal-hal berikut:

1. IMF bukan lembaga yang beku tetapi telah mengalami banyak perubahan sejak tahun 1997-98. Bukan saja karena Camdessus tidak lagi memimpin lembaga itu, tetapi perilaku dan kebijakannya sudah banyak berubah. Hanya fungsinya saja sebagai lender of last resort yang belum berubah. Sekarang ada negara yang memperoleh dana kucuran IMF tanpa dikaitkan dengan syarat.
2. Seperti diketahui kebijakan IMF dan sepak terjangnya banyak ditentukan oleh Amerika Serikat. Pada tahun 1997-98 tidak mustahil Presiden Clinton menghendaki lengsernya Presiden Soeharto. Zaman Presiden Bush ceritanya sudah lain. Apalagi sekarang dengan Obama yang memutar balik kebijakan Bush.
3. Jadi sah sah saja Boediono sekarang memperoleh kepercayaan dari IMF. Bukankah dia yang menggantikan Ical Bakrie dan menyelamatkan ekonomi kita (bersama Sri Mulyani) dari kesalahan SBY menaikkan harga BBM 100 persen pada 1 Oktober 2005 setelah beberapa bulan sebelumnya menaikkan harga BBM 30 persen? (Jangan2 termasuk ulahnya JK yang ”lebih cepat lebih baik”?) Diharapkan tentunya andaikata terpilih menjadi Wapres Boediono bakal mengundurkan diri sebagai Gubernur IMF.
4. Sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Megawati tentunya Boediono menjalankan kebijakan yang diarahkan oleh Presiden Megawati. Kenaikan harga BBM dan tarif listrik secara bertahap ketika itu berhasil mengurangi subsidi secara berarti pula. Sayangnya kenaikan berkala dihentikan oleh Megawati mulai akhir tahun 2003, karena bakal ada pilpres tahun 2004. ”Sayang” karena justru mulai tahun 2004 harga minyak internasional mulai menanjak dengan akibat menaikkan lagi subsidi.
5. Soal liberalisasi sektor energi, upaya yang dilakukan Pemerintah adalah sesuai amanat DPR yang menerbitkan undang-undang migas dan kelistrikan yang mengandung sifat neoliberal. Jadi DPR harus ikut bertanggung-jawab dong. Untunglah kita memiliki Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sebagian perundangan tersebut. Jadi yang perlu kita kaji ulang adalah: mengapa sampai DPR menerbitkan undang-undang yang mengandung sifat neoliberal?

Sabtu, 28 Maret 2009

Jepang, Pionir Energi Nuklir di Asia

Markus Wauran

Dalam sejarah peradaban manusia, yang ditandai dengan peperangan sampai saat ini, Jepang adalah satu-satunya negara berdaulat yang terkena bom atom milik Amerika Serikat. Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II dalam hitungan detik menewaskan 220.000 orang. Mungkin korban terbanyak seketika dalam sejarah perang.

Akibat peristiwa itu, seharusnya masyarakat Jepang trauma dengan proyek atom/nuklir. Kenyataan membuktikan lain, karena alasan kondisi alam, tuntutan peradaban yang maju, dan kepentingan ekonomi untuk kesejahteraan seluruh rakyat, kehadiran PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) tidak bisa dihindari. PLTN menjadi opsi yang tepat dan menjanjikan, karena terbukti membuat Jepang maju.

Listrik untuk pertama kali digunakan di Jepang 25 Maret 1878 di Institut Teknologi Toranomon, Tokyo. Delapan tahun kemudian, 1886, Tokyo Electric Lighting Company, perusahaan listrik pertama di Jepang, menyuplai listrik kepada masyarakat. Jepang adalah negara yang mengalami empat musim yang memengaruhi permintaan energi dan listrik. Ada dua puncak permintaan energi, yaitu pada musim dingin sebagai akibat penggunaan pemanas dan musim panas sebagai akibat penggunaan pendingin udara.

Setelah Perang Dunia II, dengan kerja ekstra keras pertumbuhan ekonomi Jepang pesat. Pertumbuhan pada 1960-1980 sering disebut sebagai "keajaiban ekonomi Jepang". Untuk menjaga pertumbuhan ekonominya stabil, bahkan meningkat, maka ketersediaan energi yang cukup dan stabil mutlak diperlukan. Untuk memenuhi kebutuhan energinya, salah satu opsi adalah memanfaatkan nuklir. Jepang memilih opsi energi nuklir untuk pembangkit listrik, kemudian menafaatkan dan mengembangkannya secara signifikan dengan beberapa alasan.

Pertama, Jepang adalah negara yang miskin sumber daya energi. Sekitar 80% kebutuhan energi Jepang dipenuhi dari impor. Porsi terbesar adalah minyak. Untuk tidak menggantungkan diri pada minyak, maka upaya diversifikasi energi ditempuh oleh Jepang. Salah satu opsinya adalah energi nuklir untuk pembangkit listrik (PLTN). Kedua, energi nuklir menarik bagi Jepang, karena ramah lingkungan. Dibandingkan dengan PLTU, batu bara, gas alam, dan minyak, PLTN tidak menghasilkan emisi gas berbahaya seperti Nox, Sox, dan CO2 yang dianggap sebagai kontributor utama polusi lingkungan.

Ketiga, suplai dan harga uranium sebagai bahan bakar PLTN relatif stabil. Keempat, sumber energi alternatif, seperti tenaga surya dan angin, juga merupakan opsi menarik, karena bersih dan ketersediaanya melimpah. Namun, masih memiliki keterbatasan disebabkan ketergantungan pada cuaca dan laju konversi energi rendah yang akan mempengaruhi efisiensi biaya, sehingga energi nuklir tetap merupakan pembangkit energi yang paling masuk akal.

Kelima, nuklir juga merupakan sumber energi yang kompak, hanya membutuhkan 30 ton bahan bakar uranium per tahun untuk membangkitkan 1 juta KW (1000 MW), dibandingkan 1,4 juta ton minyak yang dibutuhkan untuk PLTU konvensional.


Pionir PLTN

Jepang adalah pionir dalam pembangunan dan pengembangan energi nuklir di Asia yang dimulai pada 1960, yang pada awalnya bekerja sama dengan Amerika Serikat. Ada dua perusahaan AS yang merintis pembangunan PLTN di Jepang bekerja sama dengan perusahaan domestik. Kedua perusahaan itu adalah Westinghouse dan General Electric(GE) Westinghouse bekerja sama dengan Mitsubishi Heavy Industry (MHI) yang mengembangkan reaktor jenis PWR dan GE bekerja sama dengan Toshiba dan Hitachi yang mengembangkan reaktor jenis BWR.

Dalam perkembangannya, Jepang telah mampu membangun dan mengembangkan PLTN, mulai dari teknologi, desain, konstruksi, operasi, pemeliharaan sampai dengan dekomisioning. Hal ini terjadi karena didukung oleh program R&D, pendidikan dan pelatihan SDM yang yang menguasai iptek nuklir.

Di Asia Timur terdapat empat negara yang memiliki PLTN, yaitu Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Taiwan. Sejak adanya Undang-Undang Energi Atom pada 1955, Jepang secara intensif melakukan persiapan untuk pembangunan PLTN. Dari berbagai persiapan itu, pada 1963 Jepang berhasil mengoperasikan sebuah PLTN dengan kapasitas neto 12 MW, jenis BWR dengan nama JPDR yang berlokasi di Ibaraki. Kemudian pada 1966, beroperasi PLTN kedua dengan nama Tokai 1 di Ibaraki Ken, jenis CGR sebagai PLTN komersial pertama.

Sampai dengan terjadi krisis minyak (I) pada 1973, Jepang hanya memiliki 8 unit PLTN. Sadar akan bahaya pada ketergantungan sumber energi minyak, maka berkaca dari krisis minyak 1973, Jepang memacu pemanfaatan dan pengembangan energi nuklir. Sampai pada krisis energi minyak (II), 1979, Jepang telah membangun 15 PLTN baru, di samping 8 unit sebelumnya.

Pengalaman pahit akibat krisis minyak 1973 dan 1979 lebih menyadarkan Jepang bahwa diversifikasi energi harus benar-benar dilaksanakan dan tidak boleh bergantung pada minyak, jika ingin kestabilan energi tetap kuat dan perekonomian tidak terganggu.

Oleh karena itu, setelah krisis 1979, Jepang menggenjot pembangunan PLTN secara spektakuler, di mana sampai 2005 telan dibangun dan beroperasi sebanyak 36 unit. Total jumlah PLTN yang dibangun di Jepang sejak 1963 s/d 2005 sebanyak 59 unit. Dari 59 unit itu yang beroperasi saat ini 53 unit.

Dikatakan, Jepang sebagai pio- nir, karena dibandingkan dengan Korea Selatan, PLTN pertamanya baru beroperasi pada 1977 di Busan, Tiongkok pada 1991 di Zhejiang, dan Taiwan pada 1978 di Taipei. Bahkan dibandingkan dengan India dan Pakistan, PLTN pertama mereka masing beroperasi pada 1969 di Maharastra (India) dan 1971 di Sind (Pakistan).

Jepang juga dikatakan sebagai raksasa nuklir Asia, karena jumlah PLTN-nya terbanyak dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Sebagai perbandingan, jumlah PLTN Jepang yang beroperasi 53, Korea Selatan 20, India 17, Tiongkok 11, Taiwan 6, dan Pakistan 2. Sebagai raksasa nuklir Asia, Jepang telah menjadi pemain global, di mana teknologinya, baik reaktor, turbin, generator, maupun transmisi telah merambah ke berbagai negara.

Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil dari kegitan global Jepang dalam bidang iptek nuklir. Sebagai sesama bangsa Asia, kita bangga bahwa teknologi nuklir Jepang begitu maju serta diperhitungkan oleh negara-negara Barat seperti Prancis dan Amerika Serikat, yang lebih awal menguasai dan memanfaatkan iptek nuklir untuk kesejahteraan manusia. Pengalaman, keahlian, dan teknologi nuklir Jepang perlu diperhitungkan secara sungguh-sungguh dalam partisipasinya membangun PLTN di Indonesia.


Penulis adalah anggota HIMNI dan mantan anggota MPR/DPR

Jepang, Pionir Energi Nuklir di Asia

Jepang, Pionir Energi Nuklir di Asia

Markus Wauran

Dalam sejarah peradaban manusia, yang ditandai dengan peperangan sampai saat ini, Jepang adalah satu-satunya negara berdaulat yang terkena bom atom milik Amerika Serikat. Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II dalam hitungan detik menewaskan 220.000 orang. Mungkin korban terbanyak seketika dalam sejarah perang.

Akibat peristiwa itu, seharusnya masyarakat Jepang trauma dengan proyek atom/nuklir. Kenyataan membuktikan lain, karena alasan kondisi alam, tuntutan peradaban yang maju, dan kepentingan ekonomi untuk kesejahteraan seluruh rakyat, kehadiran PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) tidak bisa dihindari. PLTN menjadi opsi yang tepat dan menjanjikan, karena terbukti membuat Jepang maju.

Listrik untuk pertama kali digunakan di Jepang 25 Maret 1878 di Institut Teknologi Toranomon, Tokyo. Delapan tahun kemudian, 1886, Tokyo Electric Lighting Company, perusahaan listrik pertama di Jepang, menyuplai listrik kepada masyarakat. Jepang adalah negara yang mengalami empat musim yang memengaruhi permintaan energi dan listrik. Ada dua puncak permintaan energi, yaitu pada musim dingin sebagai akibat penggunaan pemanas dan musim panas sebagai akibat penggunaan pendingin udara.

Setelah Perang Dunia II, dengan kerja ekstra keras pertumbuhan ekonomi Jepang pesat. Pertumbuhan pada 1960-1980 sering disebut sebagai "keajaiban ekonomi Jepang". Untuk menjaga pertumbuhan ekonominya stabil, bahkan meningkat, maka ketersediaan energi yang cukup dan stabil mutlak diperlukan. Untuk memenuhi kebutuhan energinya, salah satu opsi adalah memanfaatkan nuklir. Jepang memilih opsi energi nuklir untuk pembangkit listrik, kemudian menafaatkan dan mengembangkannya secara signifikan dengan beberapa alasan.

Pertama, Jepang adalah negara yang miskin sumber daya energi. Sekitar 80% kebutuhan energi Jepang dipenuhi dari impor. Porsi terbesar adalah minyak. Untuk tidak menggantungkan diri pada minyak, maka upaya diversifikasi energi ditempuh oleh Jepang. Salah satu opsinya adalah energi nuklir untuk pembangkit listrik (PLTN). Kedua, energi nuklir menarik bagi Jepang, karena ramah lingkungan. Dibandingkan dengan PLTU, batu bara, gas alam, dan minyak, PLTN tidak menghasilkan emisi gas berbahaya seperti Nox, Sox, dan CO2 yang dianggap sebagai kontributor utama polusi lingkungan.

Ketiga, suplai dan harga uranium sebagai bahan bakar PLTN relatif stabil. Keempat, sumber energi alternatif, seperti tenaga surya dan angin, juga merupakan opsi menarik, karena bersih dan ketersediaanya melimpah. Namun, masih memiliki keterbatasan disebabkan ketergantungan pada cuaca dan laju konversi energi rendah yang akan mempengaruhi efisiensi biaya, sehingga energi nuklir tetap merupakan pembangkit energi yang paling masuk akal.

Kelima, nuklir juga merupakan sumber energi yang kompak, hanya membutuhkan 30 ton bahan bakar uranium per tahun untuk membangkitkan 1 juta KW (1000 MW), dibandingkan 1,4 juta ton minyak yang dibutuhkan untuk PLTU konvensional.


Pionir PLTN

Jepang adalah pionir dalam pembangunan dan pengembangan energi nuklir di Asia yang dimulai pada 1960, yang pada awalnya bekerja sama dengan Amerika Serikat. Ada dua perusahaan AS yang merintis pembangunan PLTN di Jepang bekerja sama dengan perusahaan domestik. Kedua perusahaan itu adalah Westinghouse dan General Electric(GE) Westinghouse bekerja sama dengan Mitsubishi Heavy Industry (MHI) yang mengembangkan reaktor jenis PWR dan GE bekerja sama dengan Toshiba dan Hitachi yang mengembangkan reaktor jenis BWR.

Dalam perkembangannya, Jepang telah mampu membangun dan mengembangkan PLTN, mulai dari teknologi, desain, konstruksi, operasi, pemeliharaan sampai dengan dekomisioning. Hal ini terjadi karena didukung oleh program R&D, pendidikan dan pelatihan SDM yang yang menguasai iptek nuklir.

Di Asia Timur terdapat empat negara yang memiliki PLTN, yaitu Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Taiwan. Sejak adanya Undang-Undang Energi Atom pada 1955, Jepang secara intensif melakukan persiapan untuk pembangunan PLTN. Dari berbagai persiapan itu, pada 1963 Jepang berhasil mengoperasikan sebuah PLTN dengan kapasitas neto 12 MW, jenis BWR dengan nama JPDR yang berlokasi di Ibaraki. Kemudian pada 1966, beroperasi PLTN kedua dengan nama Tokai 1 di Ibaraki Ken, jenis CGR sebagai PLTN komersial pertama.

Sampai dengan terjadi krisis minyak (I) pada 1973, Jepang hanya memiliki 8 unit PLTN. Sadar akan bahaya pada ketergantungan sumber energi minyak, maka berkaca dari krisis minyak 1973, Jepang memacu pemanfaatan dan pengembangan energi nuklir. Sampai pada krisis energi minyak (II), 1979, Jepang telah membangun 15 PLTN baru, di samping 8 unit sebelumnya.

Pengalaman pahit akibat krisis minyak 1973 dan 1979 lebih menyadarkan Jepang bahwa diversifikasi energi harus benar-benar dilaksanakan dan tidak boleh bergantung pada minyak, jika ingin kestabilan energi tetap kuat dan perekonomian tidak terganggu.

Oleh karena itu, setelah krisis 1979, Jepang menggenjot pembangunan PLTN secara spektakuler, di mana sampai 2005 telan dibangun dan beroperasi sebanyak 36 unit. Total jumlah PLTN yang dibangun di Jepang sejak 1963 s/d 2005 sebanyak 59 unit. Dari 59 unit itu yang beroperasi saat ini 53 unit.

Dikatakan, Jepang sebagai pio- nir, karena dibandingkan dengan Korea Selatan, PLTN pertamanya baru beroperasi pada 1977 di Busan, Tiongkok pada 1991 di Zhejiang, dan Taiwan pada 1978 di Taipei. Bahkan dibandingkan dengan India dan Pakistan, PLTN pertama mereka masing beroperasi pada 1969 di Maharastra (India) dan 1971 di Sind (Pakistan).

Jepang juga dikatakan sebagai raksasa nuklir Asia, karena jumlah PLTN-nya terbanyak dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Sebagai perbandingan, jumlah PLTN Jepang yang beroperasi 53, Korea Selatan 20, India 17, Tiongkok 11, Taiwan 6, dan Pakistan 2. Sebagai raksasa nuklir Asia, Jepang telah menjadi pemain global, di mana teknologinya, baik reaktor, turbin, generator, maupun transmisi telah merambah ke berbagai negara.

Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil dari kegitan global Jepang dalam bidang iptek nuklir. Sebagai sesama bangsa Asia, kita bangga bahwa teknologi nuklir Jepang begitu maju serta diperhitungkan oleh negara-negara Barat seperti Prancis dan Amerika Serikat, yang lebih awal menguasai dan memanfaatkan iptek nuklir untuk kesejahteraan manusia. Pengalaman, keahlian, dan teknologi nuklir Jepang perlu diperhitungkan secara sungguh-sungguh dalam partisipasinya membangun PLTN di Indonesia.


Penulis adalah anggota HIMNI dan mantan anggota MPR/DPR

Sabtu, 28 Februari 2009

Soeharto: Nuklir untuk Kemakmuran Rakyat, Jusuf Kalla Menolak

Berikut ini adalah tulisan Markus Wauran, seorang mantan anggota DPR/MPR dan kini aktif sebagai anggota Pengurus HIMNI, yaitu Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia. Tulisan tersebut sudah dimuat dalam Suara Pembaruan dan menanggapi pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla dalam pertemuan antara partai dengan pengusaha ketika menjawab pertanyaan apakah Golkar mendukung pembangunan PLTN di Indonesia. Jawaban JK mengejutkan banyak kalangan, terutama mereka yang pro-nuklir, karena selama ini Partai Golkar sebagai bagian penting dari koalisi Presiden SBY dianggap pendukung pembangunan PLTN. Terbukti dengan telah dikeluarkannya berbagai dokumen Pemerintah yang mencantumkan PLTN sebagai solusi energi masa depan Indonesia, sebut saja Kebijakan Energi Nasional (Departemen ESDM, 2004), Blueprint: Pengelolaan Energi Nasional (BAKOREN atau Badan Koordinasi Energi Nasional, 2005), Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijaksanaan Energi Nasional, Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang Nasional, dan Undang-undang No. 30 tahun 2007 tentang Energi. Demikian pula pernyataan Ketua Komisi VII DPR di waktu lalu, seperti Agusman Effendi dan A. Hartarto kedua-duanya dari Partai Golkar.

2009-02-26

Soeharto: Nuklir untuk Kemakmuran Rakyat, Jusuf Kalla Menolak

Markus Wauran

Pada 16 Februari 2009 dalam dialog di televisi bertema Pengusaha Bertanya, Parpol Menjawab atas pertanyaan pengusaha kondang Arifin Panigoro: "Apakah Partai Golkar setuju dengan penggunaan energi nuklir untuk pembangkit listrik di Indonesia?", Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK) menjawab bahwa Golkar menolak energi nuklir dikembangkan.

Dari berbagai pemberitaan media massa, pada intinya tiga alasan penolakan. Pertama, adanya penolakan masyarakat bila di wilayahnya dibangun PLTN, walaupun mereka setuju dengan energi nuklir. Kedua, di Indonesia banyak terjadi gempa, sedangkan teknologi nuklir saat ini belum aman dan bersahabat. Ketiga, orang Indonesia agak ceroboh dibandingkan dengan Jepang.

Sikap Golkar yang disuarakan oleh JK sangat bertentangan dengan visi yang strategis dan tajam dari mantan Presiden Soeharto, tokoh yang paling berjasa membesarkan Golkar. Dalam sambutannya pada upacara peresmian instalasi pengolahan limbah radioaktif BATAN pada 5 Desember 1988 di Serpong, Soeharto mengatakan, kemajuan iptek nuklir akan disumbangkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kemudian pada upacara peresmian Instalasi Radiometalurgi serta Instalasi Keselamatan dan Keteknikan Reaktor pada 12 Desember 1990 di Puspitek Serpong, Soeharto juga mengatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan sekitar 25 tahun yang akan datang, untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Jawa, pengerahan semua sumber daya yang ada, seperti air, panas bumi, gas alam, dan batu bara tidak akan mencukupi. Karena itu, mulai sekarang kita perlu memikirkan untuk membangun pusat listrik tenaga nuklir.


Tak Perlu Ragu

Penggunaan tenaga nuklir memang mengandung risiko. Risiko itu selalu ada dalam penggunaan teknologi mana pun. Dengan membuat perencanaan secara cermat khususnya yang menyangkut faktor keamanannya, kita tidak perlu ragu dalam menerapkannya. Dalam kehidupan, acapkali kita harus berani menghadapi risiko yang telah kita perhitungkan, karena risiko juga merupakan tantangan. Hanya bangsa yang mampu menghadapi tantangan yang akan mampu menjadi bangsa yang maju. Lagi pula, dewasa ini perkembangan teknologi nuklir telah demikian maju, sehingga apabila semua unsur keamanan diperhatikan, risiko terjadinya kecelakaan sangat kecil.

Pada sisi lain, Soeharto sangat percaya pada SDM Indonesia, yang ditegaskannya dalam sambutan pada peresmian Instalasi Spektometri Neutron dan Laboratorium Sumber Daya dan Energi pada 20 Agustus 1992 di Serpong. Dalam acara tersebut, Soeharto berkata: "Saya percaya bahwa bangsa Indonesia mampu menguasai teknologi canggih. Nenek moyang kita telah berhasil membangun candi-candi yang sangat indah arsitekturnya dan bertahan ratusan tahun.
Nenek moyang kita juga membangun armada laut yang telah mengarungi samudra luas. Penjajahlah yang telah membuat kita lemah dan kurang percaya diri. Karena itu, setelah menjadi bangsa yang merdeka kita harus dapat bangkit kembali untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain yang telah maju".

Ketiga sambutan Soeharto tersebut disampaikan dalam rangkaian peresmian berbagai fasilitas Iptek Nuklir di kawasan Puspitek Serpong yang diawali dengan peresmian beroperasinya Reaktor Nuklir Serbaguna GA Siwabessy dan Instalasi Pembuatan Elemen Bahan Bakar Nuklir pada 20 Agustus 1987. Dari ketiga pernyataan itu dapat diambil kesimpulan bahwa pertama, Soeharto sangat percaya pada kemajuan dan manfaat iptek nuklir untuk kesejahteraan rakyat termasuk manfaat pembangunan PLTN. Kedua, berani mengambil keputusan apa pun risiko dan tantangannya setelah melalui persiapan dan perencanaan yang cermat. Ketiga, sangat percaya pada SDM Indonesia sebagaimana telah dibuktikan oleh nenek moyang kita.


Sangat Relevan

Seharusnya, JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam kaitan dengan pembangunan PLTN harus belajar dan mewarisi visi dan strategi Soeharto sebagai mahaguru Golkar, bukan membuat pernyataan yang jauh di bawah kualitas dari visi dan strategi Soeharto. Lepas dari kita senang atau tidak, pro atau kontra terhadap Soeharto, pernyataan Soeharto tersebut sangat relevan dengan tuntutan dan tantangan bangsa dewasa ini dan ke depan dalam kebijakan energi. Bangsa yang memiliki harga diri dan percaya diri, serta rasa kebangsaan yang kental, pasti akan mendukung visi dan strategi Soeharto.

Mengenai penolakan masyarakat atas pembangunan PLTN di wilayahnya, sebagaimana dikatakan JK, sebenarnya menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyosialisasikan PLTN. Apabila sosialisasi PLTN dilaksanakan pemerintah secara intensif, jujur, terbuka, dan objektif, penulis yakin masyarakat tidak akan ragu untuk menerima, bahkan sangat mendukung kehadiran PLTN di wilayahnya. Dibandingkan dengan Jepang, yang rakyatnya sangat trauma dengan bom atom akibat peristiwa Hiroshima dan Nagasaki, yang menelan korban tewas sekitar 220.000 jiwa, akhirnya menerima pembangunan PLTN di negaranya setelah melalui sosialisasi intensif yang dilakukan pemerintah. Adalah sangat ironis dan memprihatinkan apabila pembangunan PLTN di Indonesia, pemerintah yang memiliki segalanya baik dana, prasarana, sarana, informasi, maupun kuasa kalah pada LSM dalam soal sosialisasi.

Gempa yang sering terjadi di Indonesia sebagai alasan Golkar yang dijurubicarai JK menolak PLTN adalah sikap mengingkari kenyataan serta tidak paham atau tidak mau paham atas perkembangan teknologi reaktor nuklir yang diaplikasikan dewasa ini. Frekuensi gempa di Jepang mungkin lebih tinggi dari di Indonesia, namun Jepang dewasa ini memiliki 53 unit PLTN yang sedang beroperasi dan 2 unit yang sedang dibangun (data PRIS-IAEA per 22-02-2009). Hal ini terjadi karena lokasi PLTN telah melalui penelitian dan kajian yang sangat matang dan didukung oleh teknologi nuklir yang paling maju dan aman, serta terus dimutakhirkan. Apalagi dewasa ini sistem keselamatan/keamanan reaktor nuklir diterapkan dengan sistem pertahanan berlapis (defence in depth) yang meliputi komponen reaktor, sistem proteksi reaktor, konsep hambatan ganda, pemeriksaan, dan pengujian, serta pendidikan dan pelatihan para operator sesuai dengan standar persyaratan internasional yang sangat ketat dan terus diupgrade sesuai perkembangan teknologi.

Dengan sistem pertahanan berlapis itu, risiko terjadi kecelakaan yang membahayakan manusia dan lingkungan sangat kecil kemungkinannya.

Kemudian, penilaian Golkar yang menolak PLTN dengan alasan SDM Indonesia sedikit ceroboh dibandingkan dengan Jepang, sebenarnya Golkar yang ceroboh dan salah menilai, karena sangat bertentangan dengan kenyataan dan di sisi lain melecehkan SDM Indonesia. Saat ini, ada tiga reaktor nuklir yang sedang beroperasi masing-masing Reaktor Triga Mark II (1965) di Bandung, Reaktor Kartini (1979) di Yogyakarta dan Reaktor Serbaguna Siwabessy (1987) di Serpong, yang seluruh operatornya adalah putra bangsa terbaik hasil didikan dalam dan luar negeri.

Sejak beroperasi sampai sekarang reaktor-reaktor itu tidak pernah bermasalah yang membahayakan manusia dan lingkungan. Kenyataan ini membuktikan bahwa putra bangsa yang mengoperasikan seluruh reaktor bukan yang ceroboh, tetapi yang memiliki disiplin tinggi dan budaya kerja prima yang tidak kalah dengan SDM Jepang, dan negara lainnya.

Dari uraian tersebut, seharusnya pandangan, visi dan strategi Soeharto tentang iptek nuklir dan kehadiran PLTN di Indonesia menjadi amanah Golkar untuk direalisasikan. Pandangan, visi, dan strategi tersebut sangat relevan, bahkan menjadi prioritas utama dalam menjawab tuntutan dan tantangan bangsa di bidang energi, dewasa ini.


Penulis adalah anggota HIMNI dan mantan anggota MPR/DPR

Jumat, 16 Januari 2009

Apa beda reaktor nuklir dari bom atom atau bom nuklir ?

Pada bulan Desember 2008 dalam salah satu yahoo-chatgroup telah muncul sebuah
ungkapan bahwa ada seorang gurubesar dari universitas di Indonesia, dan juga ada
seorang pakar fisika nuklir, yang menyatakan bahwa reaktor nuklir adalah bom atom atau
bom nuklir yang dikendalikan. Kemudian ada yang mengisyaratkan bahwa pengertian
tersebut telah menjadi pemahaman umum masyarakat di sekitar Muria.
Kalau hal ini benar maka telah terjadi suatu pembohongan besar.

Kemiripan antara cara kerja bom atom dan cara kerja reaktor nuklir hanyalah sebatas
terjadinya reaksi berantai saja pada kedua-duanya. Sama-sama reaksi berantai nuklir,
akan tetapi dalam kenyataannya reaksi berantai yang terjadi sangat berbeda, bahkan
berbeda sangat jauh.
Dalam bom nuklir reaksi fisi terjadi dengan kecepatan neutron yang sangat tinggi,
energinya di atas 1 MeV: begitu lepas dari pembelahan uranium neutron langsung
berhadapan dengan bahan uranium-235 murni. Tidak ada uranium 238 ataupun bahan
lain. Reaksi berantai sudah selesai dalam waktu kurang dari satu per trilyun detik.
Dalam reaktor nuklir reaksi fisi terjadi dengan kecepatan neutron lambat, energinya
sekitar 0,025 eV. Bahan bakar uranium yang digunakan hanya mengandung 3-4 persen
uranium-235, selebihnya adalah uranium-238. Karena itu begitu neutron lepas dari reaksi
fisi uranium-235 ia akan berbenturan dengan air (dalam reaktor nuklir PLTN jenis PWR),
khususnya inti hidrogen, dan akan mengalami penglambatan sampai ia berpeluang
ditangkap lagi oleh uranium-235 yang hanya 3-4 persen. Perbenturan dengan inti
hidrogen rata-rata 16-17 kali, sebelum neutron menyebabkan fisi berikutnya. Karena itu
proses reaksi berantai sekurangnya berjalan seribu kali lebih lambat ketimbang dalam
bom nuklir. Karena itu reaktor nuklir tidak dapat meledak seperti bom nuklir.

Lalu, mesti ada yang bertanya, kok bisa terjadi ledakan Chernobyl ? Jawabnya: walaupun
reaksi berantai dalam reaktor nuklir jauh lebih lamban ketimbang reaksi berantai dalam
bom nuklir, tetapi dia terjadi lebih cepat ketimbang reaksi manusia yang berupaya
mematikan reaksi berantai. Ini tampaknya tidak disadari oleh para operator Chernobyl-4
pada tahun 1986, yang rupanya kurang paham mengenai perilaku reaktor jenis RBMK.
Hal ini tidak perlu dikhawatirkan dengan reaktor nuklir dalam PLTN jenis PWR atau
BWR karena peningkatan jumlah neutron akibat reaksi berantai yang meningkat cepat
tidak akan meningkatkan jumlah neutron lambat menjadi semakin banyak, karena air
sekitar batang bahan bakar akan bergelembung dan tak mampu memperlambat neutron.
Jadi reaksi berantai akan menurun dengan sendirinya.

Senin, 12 Januari 2009

Italia memilih nuklir untuk pengembangan energi jangka panjang

Setahun sesudah kecelakaan PLTN Chernobyl-4 pada
tahun 1986 Italia memutuskan untuk menghentikan operasi
semua PLTNnya. Sekarang penghentian PLTN itu mulai disesali
karena harga energi sudah meningkat tajam dan kini timbul
masalah pasokan gas dari Rusia-Ukaina yang terganggu.
Berikut ini berita mengenai hal tersebut.

Nuclear the 'only solution' to Italy's energy imports

09 January 2009

The continuing squeeze on gas supplies in Europe has led a utility
president to declare "The only long run solution for Italy is nuclear
energy."
Giuliano Zuccoli, president of Edison, made the statement in an interview with
Corriere della Sera yesterday. "Italy has the most advanced and efficient energy
system of the world, based on combined cycle power plants. The only problem is
that these plants need gas to work." Supplies of gas to European markets have
dropped by 30% because of the spat between Gazprom and its Ukrainian
customers that began on 1 January.
Edison has 17% of Italy's power generation capacity, making it the second
largest supplier, while Zuccoli is also the chair of the supervisory board of
another power utility, A2A, which was founded in January 2008 after the merger
of AEM Milan and ASM of Brescia.
Relying as it does on energy imports, Italy is well prepared for disruptions to its
gas supply. The Italian government claims to have some of the largest reserves
in Europe, which amount to 14 billion cubic metres and are said to be adequate
to last for two months. However, there is not yet a clear long term strategy or
goal for energy policy: "Although we can be calm in the short run, I think we
should face the problem firmly, thinking in the medium and long run. That's why
I'm strongly supporting nuclear energy," Zuccoli said.
Edison, controlled by A2A, is one of the founders of Energy Lab, a think tank it
created in September 2007 with AEM, the Lombardia region, the University of
Milan, the University of Milan - Bicocca, the Catholic University, Milan Polytecnic
and Bocconi University.
In October 2008 Energy Lab produced a Preliminary Report on the Conditions for
the Return of Nuclear Energy in Italy. In this paper, Energy Lab gave several
recommendations such as ensuring government decisions on new nuclear
projects can be made quickly. "Bureaucracy, this is the real problem. We can't
know how long it will take to get all the authorizations. Edison is ready and we
gave our indications through the latest report," Zuccoli said.
Claudio Scajola, Italy's minister of economic development has declared that
energy diversification is no longer avoidable and nuclear energy is the first option.
In the medium term, a statement from Scajola said, "we are working on new
agreements with other [gas] supplier countries" and "in any case we cannot but
think about the future and diversify our sources with the return to nuclear power."
He concluded that "The shortsightedness of the past continues to put us at risk."
Italy once had a thriving nuclear power sector, but a referendum called after the
Chernobyl disaster in led to the country's five reactors being shut down by 1990.
In recent days Slovakian and Bulgarian leaders have mooted the possibility of
restarting nuclear reactors shut down as part of EU accession agreements.
Another European country forced to connect the current gas crisis to its past
nuclear power policies is Germany. A coalition government helped to power by a
minority Green contingent put in place legislation to force all nuclear power plants
to close early. The country has since worked hard to build sufficient wind and
solar power to replace the reactors that still provide about one third of electricity,
but as the dates for nuclear shutdown approach it seems increasingly likely that
coal will be the fuel of choice to replace nuclear power. German voters will go to
the polls in September, with the future use of nuclear power in terms of energy
security and climate protection as a major issue.

Tiga berita menarik

Keputusan untuk membangun PLTN perlu diambil sekitar 10
tahun sebelum ia diperlukan kehadirannya di dalam sistem
jaringan listrik. Jadi untuk sistem listrik Jawa-Madura-Bali PLTN
paling cepat dapat beroperasi pada tahun 2018, apabila
keputusan diambil saat ini (Januari 2009).

Tiga berita berikut mengenai:

1. Bulgaria dan Slovakia yang tengah mempertimbangkan
untuk mengoperasikan kembali PLTN buatan Uni Sovyet
yang sebelumnya dihentikan sebagai prasyarat untuk
bergabung ke dalam Uni Eropa.

2. Pada tahun 2008 sebanyak 10 proyek pembangunan PLTN
dimulai konstruksinya (tiga dihentikan).

3. Di Sendai, Jepang, perusahaan listrik Kyushu telah
DIMINTA oleh penduduk sekeliling kedua PLTN Sendai
untuk membangun PLTN ketiga di lokasi yang sama.

1. Gas dispute elicits calls to restart old reactors

Russia's ongoing dispute with Ukraine about gas supplies and prices has revived
calls from Bulgaria and Slovakia for restarting early-model Soviet-design reactors
which were shut down as a condition of joining the EU. Bulgaria proposes
immediately to prepare Kozluduy-3 for restart, and Slovakia is in a position to
restart Bohunice V1 unit 2 anytime, since it was only withdrawn from service ten
days ago. Article 36 of Bulgaria's EU accession agreement says that in a national
crisis the country has the right to resume power generation at Kozloduy 3 and 4,
and Bulgaria's President has said that the current situation verges on being a
national crisis. The Slovak prime minister said that "If Slovakia should be held
hostage to the Russian-Ukrainian dispute, ... I can imagine ... re-launching the
operation of Jaslovske Bohunice nuclear power plant V1."

2. 2008 as a year of nuclear construction starts

During 2008 no new reactors were connected to grids, and three old ones were
taken out of service: Hamaoka 1 & 2 in Japan, and Bohunice 3 in Slovakia - the
latter as a condition of EU entry. But more positively there were ten construction
starts: China: Hongyanhe 1, Fuqing 1, Ningde 1 & 2, Yangjiang 1, Fangjiashan 1;
South Korea: Shin Wolsong 2 & Shin Kori 1; and Russia: Leningrad II-1,
Novovoronezh II-1, boosting the construction total to 43 (37.6 GWe), up from 33
(26.6 GWe) a year earlier. There were about a dozen power uprates in five
countries. Two small Indian reactors had been due to start up in 2008 but were
delayed by fuel shortages. In addition, work to complete the long-stalled
Mochovce 3 and 4 units in Slovakia was officially launched.

3. New Japanese reactor planned

Kyushu Electric Power has announced its plan to build a third nuclear reactor at
its Sendai plant in SW Japan, to be on line in 2019. This will be a 1590 MWe
Mitsubishi APWR, and construction is expected to begin in 2013. Cost is put at
Y540 billion ($5.8 billion). The company was petitioned several years ago by the
local community to build a further reactor here