Sabtu, 13 November 2010

Masalah Utama Sektor Energi Adalah Harga (II)

Harga energi di tingkat konsumen harus memenuhi dua syarat. Ia harus cukup tinggi, tetapi ia juga harus terjangkau oleh seluruh masyarakat.

Ia harus cukup tinggi karena dua alasan penting. Pertama ia harus mencerminkan nilai keekonomian; bila tidak harus disediakan subsidi dan hal ini (subsidi) merugikan karena merupakan pendapatan negara yang mubazir. Diadakannya subsidi hanya menguntungkan pejabat negara karena masyarakat cenderung mendukungnya secara politis. Hal ini terjadi selama masa Orde Baru dan Presiden Soeharto berulang-kali dipilih menjadi Presiden. Benar, selama masa yang sama Pemerintah beberapa kali terpaksa mengadakan penyesuaian (penaikan) harga BBM dan tarif listrik. Tetapi penyesuaian tersebut diadakan dalam situasi terpaksa, yaitu karena Pemerintah mengadakan devaluasi nilai rupiah yang disebabkan oleh salah-urus pengelolaan ekonomi makro, bukan karena salah urus pengelolaan sektor energi.
Alasan kedua harga energi harus cukup tinggi adalah guna memungkinkan produsen energi (seperti Pertamina, PLN dan PGN) meraih keuntungan yang memadai agar dapat disisihkan cukup dana untuk investasi perluasan/penambahan kapasitas. Hal ini amat penting demi kelangsungan kemampuan produsen energi untuk menambah kapasitas, mengingat permintaan energi yang tumbuh sangat cepat.
Berapakah nilai keekonomian energi saat ini ? Dengan harga minyak internasional berkisar sekitar $ 80/bbl dan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9000/$AS, maka secara kasar dapat dihitung nilai tersebut sekitar Rp. 6500/liter BBM atau tarif listrik rata-rata sekitar Rp. 720/kWh. Ini untuk keadaan di Jawa, Madura dan Bali. Bilamana dikehendaki harga dan tarif yang sama untuk seluruh wilayah Indonesia, maka angka –angka tersebut perlu dinaikkan sebesar sekitar 10 %. Hal ini untuk memberi peluang kepada produsen energi menyelenggarakan subsidi-silang secara internal di dalam perusahaan masing-masing (yang memungkinkan harga seragam di seluruh wilayah Indonesia). Apabila terjadi pelemahan atau penguatan nilai tukar rupiah, sudah barang tentu harus diadakan penyesuaian seperlunya. Demikian juga apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga minyak internasional.

Syarat kedua yang harus dipenuhi oleh harga energi ádalah ia harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Karena itu, dari tingkat harga yang sekarang berlaku harus diadakan penyesuaian atau kenaikan harga. Tetapi harus tetap memperhatikan daya-beli masyarakat. Karena itu kurang bijaksana kiranya apabila Pemerintah mengadakan penyesuaian harga BBM dan tarif listrik secara mendadak, seperti yang dilakukan terhadap harga BBM pada tanggal 1 Oktober 2005. Penyesuaian harus dilaksanakan secara berangsur dan diumumkan oleh Pemerintah jauh sebelumnya. Sebagai misal, Pemerintah dapat mengambil keputusan sekarang (November 2010) bahwa terhitung mulai 1 April 2011 harga BBM rata-rata akan dinaikkan sebanyak 5 % setiap triwulan; demikian juga tarif listrik. Dengan demikian maka seluruh anggota masyarakat akan bersiap-siap menghadapi penyesuaian dan hal ini akan memberikan semacam kepastian usaha bagi para pelaku ekonomi. Tentu Pemerintah akan khawatir bakal terjadi peningkatan inflasi dan untuk mencegah ini perlu diadakan sosialisasi yang gencar. Termasuk tentang manfaat kebijakan penyesuaian, yaitu mengurangi subsidi dan menambah dana yang tersedia untuk kegiatan pembangunan yang produktif. Perlu pula ditekankan bahwa bilamana telah dicapai nilai keekonomian harga energi menurut harga minyak internasional dan nilai tukar rupiah yang berlaku, maka penyesuaian akan dihentikan.

Demikian saran dan pendapat MPEL, semoga dapat dipertimbangkan.

Masalah Utama Sektor Energi Adalah Harga

Sektor energi negara kita memang menghadapi banyak masalah. Semuanya memerlukan perhatian dan penanganan yang serius. Sebut saja "Pasokan dan harga energi yang belum optimal", atau "Akses masyarakat terhadap layanan energi yang belum merata". Ada lagi "Pasokan yang kadang-kadang kacau" ataupun "Belum adanya bank infrastruktur" dan "Belum ada niat serius untuk investasi eksplorasi".
Baru-baru ini Pemerintah membentuk Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), sebuah langkah yang disambut baik oleh masyarakat energi pada umumnya. Dan Direktur Jenderal yang diangkat pun, yaitu Dr. Luluk Sumiarso, adalah seseorang yang dinamis dan telah banyak berkarya. Pengalaman beliau sebagai Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, sebagai Sekretaris Jenderal Departemen ESDM dan sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, akan dapat mendorong meningkatkan pangsa pasar EBTKE. Sarasehan EBTKE yang diselenggarakannya pada tanggal 3 November 2010 telah diikuti oleh tidak kurang dari 500 peserta, dan telah dicanangkan visi baru yaitu Visi 25/25: Sasaran pangsa EBTKE sebesar 25% pada tahun 2025. Perkembangan ini telah memberikan harapan baru bagi masyarakat energi Indonesia.
Namun masih saja ada yang berpendapat bahwa Visi yang lama, 17/25, yaitu pangsa 17% pada tahun 2025 yang diamanatkan dalam Per Pres No. 5 tahun 2006, itu pun belum tentu dapat dicapai karena masih ada kendala besar. Kendala ini adalah harga energi di tingkat konsumen, baik BBM maupun listrik, masih terlalu rendah, sehingga akan sulit bagi energi alternatif EBTKE untuk bersaing. Hal ini nyaris tidak disinggung oleh para penyaji makalah dalam Sarasehan EBTKE tersebut di atas, tetapi diketengahkan oleh Menteri ESDM pada pertengahan Sarasehan, yaitu tentang akan diadakannya peninjauan kembali terhadap kebijakan harga energi ("pricing policy").
Memang inilah kendala terbesar yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal EBTKE yang baru dibentuk ini. Dan ia memang merupakan masalah terbesar sektor energi kita sejak tahun 2003, yaitu sejak harga minyak internasional masih sekitar $ 30/bbl. Sejak awal tahun 2004 harga minyak internasional tidak pernah turun sampai ke bawah $ 50/bbl. Inilah yang menyebabkan subsidi energi dalam APBN sampai mencapai angka bertrilyun-trilyun.
Di sinilah letak masalah sektor energi kita. Kunci pemecahannya tidak lain dan tidak bukan adalah: penghapusan subsidi energi, atau dalam kata lain harga energi di tingkat konsumen harus ditingkatkan sampai ke aras keekonomiannya. Sayangnya hingga saat ini Pemerintah bersama DPR belum ada gelagat atau upaya mencari jalan ke luar: bagaimana mengadakan penyesuaian harga energi ?
Kami dari MPEL meyakini bahwa satu-satunya jalan adalah mengadakan penyesuaian secara bertahap dan berangsur, sedikit demi sedikit, namun harus diumumkan jauh sebelumnya. Jangan sampai terjadi lagi kenaikan harga BBM seperti yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 2005, yang telah membawa kesengsaraan pada sebagian besar rakyat kecil yang berpenghasilan tetap.

Selasa, 29 Juni 2010

Usulan TDL

Pemerintah, dalam hal ini Lembaga Eksuktif bersama-sama Lembaga Legislatif, diberitakan telah menyetujui kenaikan tariff TDL terhitung mulai 1 Juli 2010, yaitu sebesar lk. 10 persen dengan catatan bahwa untuk golongan tariff rumah-tangga yang paling rendah tidak akan diberlakukan kenaikan. Hal ini telah memancing berbagai komentar dari beberapa pihak, khususnya yang bakal terkena kebijakan kenaikan TDL tersebut.
Sesungguhnya harus diakui bahwa kenaikan tersebut cukup wajar; artinya kenaikan sebesar 10 persen setelah penetapannya 6 tahun yang lalu (Kep.Pres. No. 104 tahun 2003 tertanggal 31 Desember 2003) mestinya tidak bakal mengganggu perkembangan ekonomi, mengingat kenaikan harga selama jangka waktu itu lebih tinggi dari 10 persen. Namun alas an utama yang dikemukakan adalah untuk mengurangi subsidi kepada sektor kelistrikan. Jadi tampaknya prinsip yang digunakan ialah: TDL harus naik tetapi jangan terlalu tinggi dan yang penting jangan menambah beban golongan yang pendapatannya paling rendah (tariff R-1 450 VA tidak naik).
Menurut pengamatan penulis, kebijakan yang telah diambil tersebut telah menambah kepincangan di antara golongan konsumen listrik. Penghitungan di atas kertas berdasarkan TDL 2004 memperlihatkan bahwa untuk konsumen rumah-tangga R-1, tagihan PLN kepada konsumen 450 VA berkisar Rp. 380-430/kWh (tergantung banyaknya pemakaian), konsumen 900 VA sekitar Rp. 610/kWh (asumsi pemakaian 100 kWh sebulan), konsumen 1300 VA sekitar Rp 730/kWh (asumsi pemakaian sebulan 150 kWh), sedang untuk konsumen 2200 VA sekitar Rp. 700/kWh (asumsi pemakaian sebulan 300 kWh). Untuk konsumen rumah-tangga R-2 (di atas 2200 VA tapi di bawah 6600 VA) tagihan PLN sekitar Rp. 730/kWh (asumsi pemakaian 1000 kWh sebulan). Penghitungan ini mengabaikan komponen tagihan lain seperti penerangan jalan dsb. Dari angka-angka di atas dapat disimpulkan bahwa konsumen 450 VA dan 900 VA memperoleh cross-subsidy dari konsumen lainnya. Timbul pertanyaan: bukankah lebih adil kiranya apabila semua golongan tariff konsumen rumah-tangga membayar PLN dengan tingkat tariff yang sama per kWhnya ?
Selain itu, hal lain yang lebih penting adalah penetapan tariff per kWh yang lebih kurang sama tingginya bagi setiap golongan tariff: rumah-tangga, bisnis, dan industri. Di mana-mana, sepengetahuan penulis, tariff rumah-tangga adalah tertinggi, tariff bisnis atau komersial nomor dua, dan tariff industri paling rendah. Ini sesuai kaidah: konsumen yang biaya pelayanannya lebih tinggi harus membayar dengan harga yang lebih tinggi. Karena sambungan rumah-tangga pada umumnya lebih rendah kapasitasnya dibandingkan dengan sambungan komersial, dan sambungan komersial pada umumnya lebih rendah ketimbang sambungan industri, maka tariff untuk rumah-tangga mestinya paling tinggi dan tariff industri paling rendah. Hal ini dianut oleh semua negara lain, menurut hemat penulis, antara lain untuk menjaga daya-saing industri dalam era globalisasi.
Ada satu hal lagi yang penting. Kenaikan TDL seperti yang telah dicetuskan oleh Pemerintah (Eksekutif dan Legislatif) sebesar sekitar 10 persen tersebut, apakah sudah diperhitungkan dampaknya terhadap perekonomian kita ? Bukankah lebih baik lagi apabila kenaikan tersebut diumumkan sekarang, akan tetapi diberlakukan mulai 1 Januari 2011 ? Dan yang terbaik, menurut hemat penulia, adalah bilamana kenaikan tersebut hanya sebesar 1 persen setiap bulan selama satu tahun, tetapi diumumkan sejak sekarang!
Jakarta 22 Juni 2010

Budi Sudarsono
Ketua Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan
Catatan: Tulisan di atas dikirim ke Sinar Harapan pada tanggal 23 Juni 2010

Jumat, 18 Juni 2010

Eisenhower, Soeharto, SBY, dan Nuklir

Oleh : Markus Wauran

Suara Pembaruan 15/6/2009

Eisenhower, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) masing-masing adalah Jenderal dari kesatuan Infanteri Angkatan Darat. Ketiga Jenderal ini pernah menjadi Presiden di negaranya masing-masing. Eisenhower adalah Presiden AS ke-34, Soeharto, Presiden RI ke-2, dan SBY Presiden RI ke-6 yang sedang berkuasa saat ini. Masing-masing Presiden ada keunggulannya.
Dari pengalaman perang, Eisenhower lebih populer dan unggul dari Soeharto dan SBY. Puncak popularitas Eisenhower adalah sebagai Panglima Perang Pasukan Sekutu di Eropa yang memenangkan peperangan melawan pasukan Nazi dan koalisinya dimulai dari pantai Normandia sampai ke beberapa Negara Eropa Barat. Soeharto terkenal sebagai Panglima Perang Mandala membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda, melalui kemenangan diplomasi tanpa perang. SBY pernah bertugas sebagai Commander of United Nations Military Observers dan Komandan Kontingen Indonesia di Bosnia Herzegovina tahun 1995-1996. Juga pernah memimpin pasukan dalam perang lokal di Timor Timur.
Ada keunggulan SBY dibandingkan dengan Eisenhower dan Soeharto. SBY dikenal sebagai Jenderal intelektual yang diakui oleh berbagai pihak dalam dan luar negeri, serta penulis beberapa buku baik berbahasa Inggris maupun Indonesia. Dengan pesona yang memukau, SBY mampu berbicara soal politik, konstitusi, ekonomi, budaya, secara cerdas.
Eisenhower menjadi Presiden untuk dua masa jabatan (8 tahun), namun Soeharto lebih unggul karena menjadi Presiden RI selama 32 tahun, yang selalu terpilih secara aklamasi oleh MPR. SBY adalah Presiden pertama RI yang dipilih langsung oleh rakyat dan sedang menjalani masa jabatan ke dua (terakhir) sebagai Presiden yang saat ini sedang menjalani ujian berat dengan berbagai persoalan rumit.
Sebagai Jenderal perang, sesungguhnya Eisenhower benci perang sebagaimana pidatonya di Ottawa pada 10 Januari 1946. yang antara lain mengatakan: “saya benci perang sebagai seorang pejuang yang sudah mengalaminya, sebagai seseorang yang melihat kebrutalitasannya dan kebodohanannya….
Kemungkinan, sebagai ekspresi bahwa dia benci perang walaupun dalam setiap penugasan selalu memenangkan perang, dalam Pidatonya sebagai Presiden AS di depan Sidang Majelis Umum PBB tanggal 8 Desember 1953, Eisenhower mencanangkan “Atom Untuk Perdamaian”(Atom for Peace). Pidato ini menggemparkan dunia karena pada waktu bersamaan, AS, Uni Soviet, Inggris, Prancis sedang berlomba melakukan pengembangan dan uji coba senjata nuklir.
Akibat pidato tersebut, Eisenhower berjasa dalam 3 hal besar yang berdampak bagi AS sendiri maupun bagi dunia. Tiga hal tersebut, pertama, berhasilnya dibangun PLTN pertama di Shippingport, Pennsylvania yang pengoperasiannya diresmikan tanggal 2 Desember 1957 dihadiri Presiden Eisenhower. Kedua, ditetapkannya Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons yang disingkat NPT oleh PBB 12 Juni 1968 di New York dan mulai berlaku efektif 5 Maret 1970; Ketiga, dimanfaatkannya Reaktor Triga sebagai sumbangan AS pada berbagai negara (seperti Austria, Finlandia, Italia, Jepang, Bangladesh, Kongo, Brazil, Jerman, Filipina, , Meksiko, Indonesia, dll) untuk memanfaatkan nuklir bagi tujuan damai dan kesejahteraan. Triga adalah singkatan dari training, research, isotopes, General Atomics. Reaktor Triga artinya reaktor yang berfungsi untuk latihan, penelitian dan memproduksi isotop yang disain dan manufaktur-nya oleh General Atomics. Reaktor pertama Indonesia
adalah reaktor Triga Mark II bantuan AS yang sampai saat ini masih beroperasi di-Bandung.
Di era Soeharto, dibangun 2 reaktor penelitian, Reaktor Kartini di Yogyakarta (1979) dan Reaktor Siwabessy di Serpong(1987) . Juga di-bangun berbagai fasilitas Iptek nuklir baik di kawasan nuklir Pasar Jumat Jakarta Selatan maupun di Serpong yang terkenal dengan Puspitek Serpong. Demikian pula dengan pembangunan sumber daya manusia yang menguasai Iptek Nuklir, kelembagaan dan perangkat hukum sangat signifikan sehingga di era ini sebenarnya Indonesia telah memenuhi syarat untuk mulai membangun PLTN.
Pada peresmian berbagai fasilitas Iptek Nuklir antara tahun 1987 sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, ada 3 hal penting yang disampaikan Soeharto yang harus menjadi pegangan bangsa kita, yaitu : pertama, bahwa hasil penelitian menunjukkan sekitar 25 thn yad untuk memenuhi kebutuhan listrik di-Pulau Jawa, pengerahan semua sumber daya yang ada seperti air, panas bumi, gas alam dan batubara tidak akan mencukupi. Karena itu mulai sekarang kita perlu memikirkan untuk membangun Pusat Listrik Tenaga Nuklir; kedua, penggunaan teknologi nuklir maupun teknologi manapun memang ada resiko. Namun, dengan perencanaan yang cermat tidak perlu ragu untuk menerapkannya. Dalam kehidupan, acapkali kita harus berani menghadapi resiko karena resiko juga merupakan tantangan. Hanya bangsa yang mampu menghadapi tantangan yang akan mampu menjadi bangsa yang maju; ketiga, saya percaya bangsa Indonesia mampu menguasai teknologi canggih. Nenek moyang kita telah membuktikannya
dengan membangun candi yang sangat indah arsitekturnya dan armada laut yang mengarungi samudra luas. Penjajahlah yang membuat kita lemah dan kurang percaya diri. Karena itu, setelah menjadi bangsa merdeka kita harus dapat bangkit kembali untuk mensejajarkan diri dengan bangsa lain yang telah maju.
Persiapan pembangunan nuklir untuk tujuan damai yang telah dipersiapkan Soekarno sampai Soeharto baik SDM, perangkat hukum, kelembagaan dan berbagai fasilitas Iptek nuklir lainnya, kemudian ditindaklanjuti SBY dengan beberapa perangkat hukum antara lain Peraturan Presiden No 5 tahun 2006, dan Undang No 17 tahun 2007 serta dukungan politik DPR dan dukungan tehnis IAEA, maka tidak ada lagi alasan apapun untuk menunda pembangunan PLTN.
Saatnya Presiden SBY mengeluarkan Keppres untuk Indonesia siap go PLTN.
Namun, sampai saat ini Keppres tsb belum terbit. Ada komentar yang mengatakan bahwa SBY orangnya peragu, tidak berani mengambil resiko dan keputusan jika ada tantangan, karena itu tidak mungkin akan ada Keppres untuk Indonesia go PLTN. Sebagai Jenderal infantri seperti Eisenhower dan Soeharto, bagi penulis tidak mungkin SBY peragu apalagi penakut. Karena kalau peragu dan penakut tidak mungkin SBY jadi Jenderal infantri yang setiap saat siap mati untuk tanah air.
Jika SBY saat ini sedang mencari kiat terbaik dan teladan kepemimpinan para Jenderal yang mengilhami dalam mengambil keputusan untuk Indonesia Go PLTN, maka sikap Eisenhower yang berani mengambil keputusan dalam situasi yang kontradiktif demi kepentingan kemanusiaan secara nasional dan global serta sikap Soeharto yang berani mengambil keputusan juga dalam situasi yang kontradiktif demi masa depan Indonesia yang lebih maju dan sejahtera, berani mengambil resiko dan menghadapi tantangan serta tidak takut pada bangsa lain yang sudah maju karena percaya diri dan sangat percaya pada SDM Indonesia, kiranya menjadi acuan dan pemicu bagi SBY untuk segera mengambil keputusan Indonesia Go PLTN. Kiranya TYME mengaruniakan kemampuan dan kearifan bagi SBY untuk mengambil keputusan yang berani, cermat dan cepat Indonesia Go PLTN seperti yang dibuat oleh Eisenhower dan Soeharto. Amin.

Penulis adalah Pengurus HIMNI dan IEN serta Anggota DPR/MPR periode 1987-1999

Kamis, 18 Maret 2010

Obama : "Go Nuclear"

Oleh : Markus Wauran

Dewasa ini 436 PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir) beroperasi di dunia, tersebar di 32 negara. Amerika Serikat memiliki 104 PLTN, terbanyak dibandingkan dengan negara-negara lain. PLTN pertama AS mulai beroperasi pada 2 Desember 1957 dengan kapasitas 60 MWe lokasinya di Shippingport, Pennsylvania.
Kehadiran PLTN di AS bukan tanpa tantangan dan hambatan. Beriringan dengan kehadirannya, muncul berbagai gerakan terorganisir yang menentang, termasuk menentang pengembangan dan percobaan senjata nuklir. Sampai saat ini, ada 70-an LSM yang menentang kehadiran PLTN, maupun senjata nuklir di AS. Alasan kemanusiaan, lingkungan, keselamatan, efisiensi/ekonomi menjadi tema utama penolakannya. Kelompok penentang ini terdiri dari berbagai kalangan mulai dari scientists, engineers, politisi, pemerhati lingkungan.
Antara tahun 70-an sampai 80-an gerakan anti PLTN telah menaruh perhatian besar bagi masyarakat AS, karena di antara masa tersebut setiap tahun terjadi berbagai demo dan protes. Banyak pendemo yang ditangkap, seperti demo 2 Mei di PLTN Seabrook New Hampshire, pendemo yang ditahan 1414 orang, September 1981 demo di Diablo Canyon, lebih dari 900 pendemo ditahan.
Gerakan anti PLTN ini memuncak setelah terjadi kecelakaan PLTN Three Mile Island (TMI) dekat Harrisburg, Pennsylvania pada 28 Maret 1979, walau tanpa korban. Tingkat kecelakaan Reaktor TMI masuk level 5 kategori INES (International Nuclear Evident Scale). Kecelakaan TMI ini telah menjadi tema sentral LSM AS dalam kampanyenya menolak PLTN yang menggema ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Setelah kejadian TMI yang diikuti dengan berbagai demo, bukan berarti tidak ada pembangunan PLTN di AS. Pada tahun 1980, saat Jimmy Carter memerintah, ada tambahan 2 unit PLTN yang beroperasi dan antara tahun 1981-1993, saat Presiden Ronald Reagan dan Presiden George HW Bush berkuasa, ada tambahan 47 unit PLTN. Pada saat Presiden Bill Clinton berkuasa (1993-2001) hampir tidak ada sama sekali, hanya ada tambahan 2 unit yang beroperasi di Texas dan Tennessee. Pada saat Presiden George W Bush (Yunior) berkuasa, (2001-2009), juga tidak ada, hanya satu unit yang sedang dibangun di Tennessee, dan diperkirakan beroperasi tahun 2012.
Memasuki awal abad ke-21, dunia diperhadapkan pada dua tantangan besar yaitu krisis lingkungan dan krisis energi. Krisis lingkungan ditandai dengan global warming dan climate change yang disebabkan meningkatnya emisi CO2 di armosfer yang dihasilkan oleh industri yang menggunakan bahan bakar fosil dan oleh transportasi.
Konperensi Kopenhagen Desember tahun lalu menghasilkan komitmen berbagai negara untuk mengambil langkah konkrit mengurangi emisi CO2, kecuali AS dan beberapa negara tidak menandatangani komitmen tersebut. Indonesia berkomitmen untuk mengurangi 26%.

Diversifikasi
Krisis energi yang puncaknya terjadi tahun 2008 dengan harga minyak mencapai US$150 per barel tertinggi sepanjang sejarah, menyadarkan banyak negara, bahwa perlu diambil langkah diversifikasi penggunaan sumber daya energi untuk kebutuhan listrik dan tidak hanya tergantung pada sumber energi fosil. Banyak negara kemudian mengambil opsi PLTN karena berdasarkan pertimbangan yang rasional, obyektif dan strategis.
Menghadapi krisis lingkungan dan energi yang saling mengkait saat ini, serta mengantisipasi masa depan kepentingan rakyat AS, maka setelah Konperensi Kopenhagen Desember 2009, Presiden Obama mengambil opsi “Go Nuclear”. Tegasnya, membangun kembali PLTN di AS setelah sekitar satu dekade terhenti.
Opsi itu disampaikan dalam pidato tahunannya di depan Kongres AS akhir Januari 2010. Presiden Obama mengatakan “But to create for more of these clean energy jobs, we need more production, more efficiency, more incentives. That means building a new generation of safe, clean nuclear power plants in this country”. Sebagai tindak lanjut dari Pidatonya di depan Kongres tersebut, maka beberapa hari yang lalu Presiden Obama mengumumkan akan dimulai lagi pembangunan PLTN di AS dengan dana jaminan pinjaman sebesar US$ 8,33 miliar. Dua Reaktor PLTN yang baru akan dibangun di negara bagian Georgia. Pembangunan dua unit ini hanya sebagai tahap awal untuk rencana pembangunan 32 unit sebagaimana yang telah diajukan oleh Koalisi Energi Bersih dan Aman yang diketuai oleh mantan Gubernur New Jersey Christine Tood Whitman.
Penulis mencatat ada beberapa alasan yang dikemukakan Obama sehingga dia memilih opsi PLTN. Pertama, membuka kesempatan kerja. Proyek PLTN menciptakan sekitar 3.000 pekerjaan konstruksi dan 850 orang akan dipekerjakan secara tetap setelah beroperasi. Kedua, kebutuhan energi dan kepentingan lingkungan, dengan mengatakan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan energi kita dan mencegah kemungkinan terburuk dari perubahan iklim, kita perlu meningkatkan suplai energi dari nuklir. Masalahnya sesederhana itu. Untuk mempertegas pernyataan ini, Direktur Gedung Putih Bidang Energi dan Kebijakan Perubahan Iklim, Carol Browner mengatakan bahwa ”Presiden Obama percaya nuklir adalah bagian dari energi masa depan kita. Saya pikir jika anda percaya seperti kita bahwa perubahan iklim adalah masalah serius yang perlu perhatian khusus, di mana kita harus mencari segala cara untuk memproduksi energi yang bersih, nuklir adalah salah satu solusinya”.
Ketiga, penguasaan teknologi baru, dalam kaitan ini Presiden Obama mengatakan bahwa “opsi PLTN ini hanyalah permulaan dari upaya untuk mengembangkan generasi baru teknologi energi bersih, aman dan efisien yang akan membantu melawan perubahan iklim.” Keempat, harga diri dan kemandirian bangsa. Dari sisi ini, Obama menegaskan bahwa negara lain banyak yang sedang membangun PLTN baru. Jika kita tidak menginvestasikan teknologi itu sekarang, kita akan mengimpornya hari esok.
Kelima, Amerika harus unggul, dengan menegaskan bahwa memberikan insentif untuk efisiensi energi dan energi bersih adalah hal yang benar untuk masa depan kita, karena bangsa yang memimpin ekonomi dengan energi bersih adalah bangsa yang memimpin ekonomi dunia, dan negara itu haruslah Amerika.
Dari uraian di atas, jelas opsi Nuklir/PLTN yang dicanangkan oleh Obama setidaknya memiliki dua tujuan strategis yaitu pertama, demi kesejahteraan rakyat AS untuk tetap unggul dalam kehidupan global, dan kedua demi kemanusiaan sejagad sebagai tanggung jawab moral AS untuk memperbaiki lingkungan global yang rusak, di mana AS memiliki kontribusi yang besar.
Opsi nuklir yang dicanangkan Obama dengan jaminan pinjaman Pemerintah Federal bukan berarti sepi dari kritik. Walaupun dalam tradisi Partai Republik pro nuklir PLTN dan Partai Demokrat pro energi terbarukan, namun banyak pendukung Partai Republik menentang kebijakan tersebut. Demikian pula dengan LSM/Kelompok Lingkungan Hidup yang dimotori oleh Sierra Club dimana Direktur Utamanya Carl Pope mengatakan bahwa “kita harus memprioritaskan pada energi yang paling bersih, murah, aman dan cepat untuk mereduksi emisi dan energi nuklir tidaklah bersih, murah, cepat ataupun aman”.
Walau menyadari kebijaksanaannya akan menghadapi tantangan, Obama telah tampil secara berani sebagai seorang nasionalis sejati yang sangat manusiawi, dengan mengambil opsi nuklir dia siap menanggung segala resiko demi kepentingan rakyat AS dan kemanusiaan sejagad.
Indonesia sebagai negara demokrasi dengan sistim presidensiil, sikap berani mengambil keputusan, siap menghadapi resiko atas keputusan yang diambil demi kepentingan rakyat sebagaimana ditampilkan secara lugas oleh Presiden Obama, perlu dicontoh oleh pemerintah Indonesia dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa yang rumit, khususnya bidang energi dan lingkungan. Semoga dan jangan sampai terlambat terus sehingga nasi menjadi bubur.

Dimuat di Suara Pembaruan pada tangal 18 Maret 2010
Penulis adalah Anggota DPR/MPR 1987-1999, Pengurus HIMNI dan IEN
________________________________________

Jumat, 05 Februari 2010

Naskah Deklarasi Energi Nuklir 2010

Kami yang mengikuti acara Pernyataan Sikap Nuklir 2010 pada tanggal 3 Februari 2010, yang diselenggarakan oleh 5 LSM terdiri dari Masyarakat Peduli Energi dan Lingkunga (MPEL), Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), Masyarakat Eenergi Terbarukan (METI), Institut Energi Nuklir (IEN) dan Woman in Nuclear Indonesia (WIN) yang telah mengadakan pengkajian yang komprehensif, setelah mendengar pembicara kunci Prof. B.J. Habibie, pemaparan naskah ”PLTN Menjamin Ketahanan Penyediaan Listrik Nasional” yang kemudian diikuti dengan diskusi, maka :

Menyadari bahwa
1. Energi adalah bagian penting perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara yang mutlak harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan dengan harga yang memadai;
2. Tenaga listrik adalah bagian dari energi yang dibutuhkan oleh masyarakat luas untuk keperluan penghidupan sehari-hari yang nyaman, akan tetapi lebih dari itu adalah bentuk energi yang sangat diperlukan guna mendorong upaya industrialisasi/pengembangan industri yang apabila tidak atau kurang tersedia dapat menghambat pertumbuhan ekonomi;

Mengamati bahwa
1. Keadaan kelistrikan Indonesia dewasa ini masih kurang memuaskan masyarakat dari berbagai segi, misalnya baru 65% penduduk dapat menikmati listrik, perkembangan industri terkendala karena kurang tersedianya pasokan listrik, beberapa daerah masih mengalami gangguan pemadaman listrik;
2. Pemerintah dan BUMN terkait tengah berupaya untuk memperbaiki keadaan kelistrikan dengan menjalankan program darurat yang diharapkan mencapai keberhasilan dalam jangka waktu beberapa tahun lagi;
3. Masih diperlukan perbaikan kebijakan yang menyangkut pemanfaatan produksi energi primer guna keperluan kepentingan dalam negeri/konsumsi domestik;
4. Kecenderungan yang kini sedang ditempuh, apabila dilanjutkan terus dalam dekade ini akan menimbulkan beberapa permasalahan pasokan listrik khususnya dalam sistem Jawa-Madura-Bali, baik dari segi biaya dan harga listrik dalam jangka panjang karena harga energi fosil yang tinggi, ataupun dari segi logistik dan keperluan lahan di daerah padat penduduk, maupun dari segi dampak terhadap lingkungan serta upaya pengurangan emisi CO2;

Memperhatikan bahwa
1. Perkembangan pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkitan listrik di dunia telah dipicu oleh tingginya harga energi fosil dengan telah diumumkannya pembangunan PLTN yang akan dilakukan di berbagai negara sebagai pilihan utama, baik negara maju maupun yang berkembang;
2. Pengoperasian PLTN di dunia yang telah mencapai lebih dari 400 unit telah membuktikan tingkat keamanan, keekonomian dan keandalan yang mapan serta masa pemanfaatan PLTN diperkirakan dapat diperpanjang hingga 60 tahun;
3. Program pembangunan PLTN suatu negara dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk peningkatan dan pengembangan teknologi pada umumnya;
4. Adanya dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat dan Pemda dari berbagai daerah seperti Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Banten dan Kalimantan agar segera membangun PLTN dalam rangka mengatasi krisis listrik nasional.

Maka kami
1. Menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mendukung upaya Pemerintah guna mewujudkan rencana yang sudah tertuang dalam perundangan seperti Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Undang-undang No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang dan Undang-undang No. 30 tahun 2007 tentang Energi, yaitu mewujudkan bauran energi dalam jangka panjang yang lebih optimal dengan memasukkan energi nuklir ke dalam bauran energi nasional;
2. Mendorong Pemerintah untuk dengan segera merumuskan dan melaksanakan program pembangunan PLTN dan menghimbau kepada masyarakat luas untuk mendukung terwujudnya bauran energi yang optimal tersebut.
3. Segera dibentuk Tim Nasional paling lambat Juni 2010 untuk merealisasikan pembangunan PLTN.


Demikian Deklarasi kami yang dicetuskan di Jakarta
pada tanggal 3 Februari 2010