Jumat, 28 Agustus 2009

Kabinet Baru dan Nasib PLTN

oleh Markus Wauran

Pada hari Selasa, 18 Agustus 2009, Komisi Pemilihan Umum menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 8 Juli 2009. Berbagai pihak menggantungkan harapan pada kepemimpinan SBY-Boediono masa bakti 2009-2014, dengan berkaca pada kepemimpinan SBY-JK 2004-2009 dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Harapan yang paling mendasar, tentunya berupa langkah terobosan yang kreatif, inovatif dan berani untuk mendayagunakan secara maksimal berbagai potensi domestik serta investasi asing sebagai pelengkap untuk memacu pembangunan nasional yang prorakyat.
Selama era reformasi, beberapa kali terjadi krisis energi, karena kenaikan harga minyak, sehingga sangat berpengaruh pada perekonomian nasional. Tidak ada yang menjamin bahwa krisis energi, akibat kenaikan harga minyak, tidak akan terulang lagi. Karena itu, perlu langkah-langkah antisipasi yang pasti di mana apabila harga minyak naik tidak akan mempengaruhi perekonomian nasional.
Salah satu terobosan itu melalui penyediaan energi yang cukup, murah, dan berkesinambungan, dengan membangun PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir). Persiapan penelitian, pemanfaatan dan pengembangan iptek nuklir telah dimulai pada awal 1950-an, yang diawali dengan pembangunan kelembagaan, per-undang-undangan, sumber daya manusia, kerja sama luar negeri serta pembangunan berbagai fasilitas fisik. Semua sumber itu telah digunakan untuk kepentingan penelitian, pemanfaatan dan pengembangan iptek nuklir. yang dewasa ini tersebar di berbagai tempat, serta persiapan pembangunan PLTN.
Persiapan Indonesia sejak awal 1950-an bersamaan dengan yang dilakukan oleh Mesir, India, dan Pakistan. Namun, dalam pembangunan PLTN, Indonesia paling ketinggalan dibandingkan dengan India, yang dewasa ini memiliki 17 unit PLTN dan sedang dibangun 6 unit lagi, Pakistan memiliki 2 unit PLTN dan sedang dibangun 1 unit, dan Mesir sudah pasti akan memulai pembangunan PLTN berkapasitas 1.000 MW yang terletak di El Dabaa, bekerja sama dengan Rusia. Apalagi dibandingkan dengan Korea Selatan, yang juga hampir bersamaan dengan Indonesia dalam memulai persiapannya, Indonesia sangat jauh ketinggalan dalam pembangunan PLTN, walaupun SDM yang menguasai iptek nuklir tidak kalah dari yang dimiliki oleh negara-negara itu. Saat ini Korea Selatan memiliki 20 unit PLTN dan 5 lagi sedang dibangun.

Sinyal

Rencana konkret untuk pembangunan PLTN sebenarnya dimulai pada masa Orde Baru. Pada saat itu, Presiden Soeharto dalam berbagai kesempatan peresmian fasilitas iptek nuklir di Serpong tahun 1980-an dan awal 1990-an telah memberikan sinyal yang pasti. Studi tapak telah selesai dan keputusannya akan dibangun di Semenanjung Muria, pantai utara Jawa Tengah. Puncak persiapannya adalah dengan terbitnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenagaan Nuklir. Namun, rencana ini tidak menjadi kenyataan karena Soeharto jatuh dari puncak kekuasaannya.
Pada awal era reformasi, rencana pembangunan PLTN seperti terkubur, tidak ada beritanya sama sekali. Hal ini disebabkan krisis ekonomi yang parah melanda bangsa ini. Setelah terjadi beberapa kali krisis minyak yang memberikan pengaruh yang sangat buruk bagi perekonomian global dan nasional, banyak megara di dunia kembali memilih opsi PLTN untuk mengatasi krisis energi. Krisis energi yang terjadi pada 2008 dengan gejolak harga minyak mencapai US$ 150 per barel, tertinggi sepanjang sejarah, lebih menguatkan lagi berbagai negara untuk secara pasti memilih opsi PLTN. Indonesia pun tidak terkecuali, bahkan sebelum krisis energi terparah pada 2008, pada 2005 pemerintah telah menyusun BPEN (blue print pengelolaan energi nasional) 2005-2025, di mana dalam Lampiran P3.1 tentang Roadmap Industri Energi Nuklir 2025 ditetapkan bahwa pembangunan PLTN unit 1 dan 2 dimulai tahun 2011 dan akan beroperasi pada 2016 dan sampai 2025 akan beroperasi 4 unit PLTN.
Blue print ini kemudian diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional di mana dalam Pasal 2 ayat 2b butir 6 ditegaskan bahwa energi baru dan terbarukan lainnya khususnya biomasa, nuklir, tenaga air skala kecil, tenaga surya, dan tenaga angin, perannya terhadap konsumsi energi nasional menjadi lebih dari 5%.
Kebijakan tersebut di atas menjadi titik terang bagi rencana pembangunan PLTN di Indonesia. Berbagai delegasi dari Prancis, Jepang, dan Korea Selatan datang ke Indonesia untuk bernegosiaisi membangun PLTN. Sebaliknya Presiden SBY juga berkunjung ke luar negeri untuk menjajagi kemungkin kerja sama di bidang nuklir. Namun, kebijakan Presiden SBY itu dinodai oleh beberapa pembantunya dengan mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan kebijakan itu. Akibatnya, soal telah masuk ranah politik. Berhubung kekuatan pendukung Presiden SBY tidak dominan di parlemen, maka penulis dapat memahami mengapa SBY sangat ber-hati-hati menindaklanjuti pembangunan PLTN.

Sosialisasi Lemah

Dari uraian di atas, terjadinya gonjang-ganjing rencana pembangunan PLTN di Indonesia disebabkan beberapa hal. Pertama, pemerintah tidak kompak, sehingga melemahkan dirinya sendiri. Kedua, sosialisasi sangat lemah, karena tidak terkoordinasi secara kuat dan rapi. Ketiga, dukungan pers sangat kurang dan ke-empat, diplomasi nuklir lemah.
Untuk membangun PLTN di Indonesia, sebenarnya semua segi telah memenuhi syarat, mulai dari tapaknya setelah melalui berbagai studi penelitian, SDM, perangkat hukum, kelembagaan, sampai pada pendanaan. Karena PLTN telah masuk ke ranah politik, maka yang dibutuhkan sekarang adalah dukungan politik dari rakyat (DPR) dan keputusan politik dari pemerintah. DPR masa bakti 2004-2009 melalui KomisiVII telah memberikan dukungan politik bagi pembangunan PLTN.
Mengingat SBY-Boediono memiliki dukungan politik yang luas dan mayoritas di DPR, berarti dukungan politik bagi penjabaran PP No. 5 Tahun 2006 dalam bentuk keppres untuk pembangunan PLTN tidak menjadi masaalah. Jadi, "bola" sekarang berada di tangan Presiden SBY. Tegasnya, jadi-tidaknya pembangunan PLTN sangat bergantung pada keputusan politik presiden.
Harus diakui bahwa para ahli iptek nuklir di Indonesia risau dan prihatin akan keberadaan mereka. Ada kesan, pemerintah, selama era reformasi, tidak memperhatikan pembangunan iptek pada umumnya dan iptek nuklir pada khususnya. Sumber daya manusia di bidang ini seolah-olah dianak-tirikan. Prioritas selalu diberikan kepada SDM bidang ekonomi dan lain-lain. Buktinya, pada pemilu yang lalu, tidak ada calon yang secara lantang memasukkan pembangunan iptek sebagai programnya. Padahal, semua pihak mengakui bahwa tidak mungkin pertumbuhan ekonomi maju jika tidak didukung oleh iptek.
Masyarakat nuklir di Indonesia, yang didukung berbagai pihak, tentunya sangat mendambakan agar Presiden SBY setelah dilantik nanti pada 20 Oktober 2009, dalam program 100 hari mencanangkan secara konkret dimulainya pembangunan PLTN. Apabila tidak, berarti PLTN "sayonara" dan berbagai fasilitas iptek nuklir yang dibangun tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal dan banyak SDM menjadi terlantar.
Penulis yakin, dengan kokohnya kekuasaan Presiden SBY, rencana pembangunan PLTN, sebagaimana telah dituangkan dalam BPEN 2005-2025 dan PP No. 5 Tahun 2006, akan dikonkretkan pada awal masa jabatannya nanti. Satu hal yang didambakan masyarakat nuklir, kabinet nanti hendaknya terdiri dari putra-putra terbaik bangsa yang loyalitasnya tidak ganda dan tidak membuat pernyataan yang menentang kebijakan presiden.

Penulis adalah anggota DPR/MPR masa bakti 1987-1999 dan pemerhati PLTN