Sabtu, 29 Januari 2011

Operasi PLTN Aman dan Andal

1. Saat ini di seluruh dunia terdapat 442 PLTN (data dari IAEA) di 29 negara yang beroperasi siang malam secara aman dan andal.
2. Mengapa hanya 29 negara dan bukannya 180 negara sesuai keanggotaan dalam PBB? Alasannya íalah: PLTN hanya ekonomis apabila dibangun dalam satuan yang besar, minimal 600-700 MW, tetapi lebih ekonomis lagi kalau 1000 MW atau bahkan 1600 MW. Jadi jaringan listrik yang tersedia ketika PLTN 700 MW mulai beroperasi minimal harus sebesar 7000 MW; jika tidak maka dapat timbul ketidak-stabilan jaringan listrik bilamana karena sesuatu hal PLTN tiba-tiba terganggu operasinya. Nah, belum banyak negara di dunia yang memiliki satu jaringan listrik sebesar minimal 6000-7000 MW.
3. Selain itu, biaya modal yang diperlukan untuk membangun PLTN cukup tinggi dibandingkan dengan biaya untuk membangun PLTU-batubara – per kWnya sekitar 50% persen lebih tinggi. Tambah lagi, karena pemilihan opsi nuklir sebagai bahan bakar akan melibatkan banyak masalah yang harus ditangani dan dipersiapkan, maka tidaklah mudah bagi sesuatu negara untuk memilih opsi PLTN. Kita di Indonesia kini memiliki tiga reaktor riset yang dikelola oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan sudah memiliki Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), dan menurut pendapat International Atomic Energy Agency (IAEA) sudah memiliki infrastruktur yang cukup lengkap guna menunjang pembangunan PLTN, namun kita masíh belum mulai membangun PLTN yang pertama.
4. Tetapi PLTN itu operasinya aman dan tidak ada kebocoran. PLTN selain menghasilkan bahang/panas yang dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik, juga menghasilkan zat radioaktif yang memang berbahaya karena terus menerus mengeluarkan sinar atau radiasi sampai akhirnya sirna sendiri. Tetapi dalam PLTN zat radioaktif itu terkendali, bahkan harus dikelola terus menerus pengamanan dan penyimpanan bahan bakar bekasnya. Apabila terjadi kebocoran, pemilik/ pengelola PLTN akan mengalami kerugian karena reaktor harus dihentikan operasinya (instalasi yang berhenti tidak akan menghasilkan uang). Maka dari itu pemilik/ pengelola PLTN mencegah segala kemungkinan kebocoran.
5. Bagaimana mencegah kemungkinan terjadinya kebocoran? Jawabnya: melalui pelaksanaan program jaminan mutu dalam setiap tahapan pembangunan dan pengoperasian PLTN: desain, konstruksi, manufaktur, instalasi, komisioning, operasi, dan dekomisioning. Program jaminan mutu dilaksanakan oleh organisasi yang terpisah dari kontraktor, jadi ia harus mandiri dan hal ini diwajibkan dan di-verifikasi oleh badan pengawas atau regulator.
6. Selain itu IAEA juga akan turut memantau perkembangan suatu proyek PLTN, mulai dari awal perencanaan, sampai ke tahap pembangunan, konstruksi, instalasi dan operasinya. Salah satu kewajiban IAEA yang harus dihormati oleh negara pemilik PLTN ialah untuk memastikan bahwa tidak ada penyelewengan penggunaan bahan bakar nuklir untuk maksud lain selain pembangkitan listrik.
7. Sedemikian bagusnya pelaksanaan program jaminan mutu dalam pembangunan PLTN di seluruh dunia, di bawah pengawasan regulator atau badan pengawas, maka operasi PLTN pada umumnya memperlihatkan keamanan dan keandalan yang tinggi. Sebagai contoh, di Amerika Serikat di mana terdapat 104 PLTN, rata-rata faktor bebannya di atas 90 persen. Ini berarti bahwa tiap PLTN rata-rata beroperasi pada kapasitas penuh selama lebih dari 90% X 8760 jam setahun = 7884 jam setahun.
8. Menurut data IAEA, faktor ketersediaan energi untuk seluruh PLTN di dunia sejak awal operasinya hingga tahun 2009 adalah 77,1 persen. Data PLTN IAEA dapat dilihat di url sbb: http://www.iaea.or.at/programmes/a2/

Senin, 24 Januari 2011

Pilih Jenis Pembangkit Yang Paling Murah

1. Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) harus segera dibangun di Indonesia, demi pasokan listrik tahun 2020. Karena itu harus diperjuangkan sejak sekarang oleh kaum muda yang kelak akan mengelola program nuklir nasional pasca tahun 2020.

2. Masalahnya permintaan listrik meningkat 7% setahun, yang berarti setiap 10 tahun berlipat ganda. Jika sekarang (2010) kapasitas listrik terpasang sebanyak 40000 MW maka dalam tahun 2030 akan diperlukan 160000 MW. Jadi tambahan yang diperlukan sebanyak 120000 MW dalam jangka waktu 20 tahun. Berarti setiap tahunnya perlu tambahan 6000 MW.

3. Bagaimana pada tahun 2050, yaitu hanya 40 tahun ke depan? (Ingat, 40 tahun ke belakang adalah tahun 1970, yaitu awal Orde Baru, jadi tidak lama di waktu lalu). Jika pertumbuhan tetap 7 persen setahun untuk menopang perkembangan ekonomi 6 persen setahun maka kapasitas listrik yang diperlukan pada tahun 2050 adalah 640000 MW. Sejak sekarang akan diperlukan tambahan rata-rata 600000/40 = 15000 MW setiap tahun ! Fantastis bukan?

4. Maka mustahil lah pertumbuhan 7 persen setahun selama 40 tahun. Pasti nanti laju pertumbuhan akan menurun seiring dengan menurunnya laju perkembangan ekonomi. Namun angka untuk 20 tahun ke depan tidak akan jauh dari keperluan untuk membangun 6000 MW setahun setiap tahunnya. Total tambahan yang diperlukan 120000 MW. Untuk ini sumberdaya panasbumi Indonesia (terbesar di dunia) hanyalah 27000 MW. Selebihnya, jika tidak mau menggunakan nuklir, harus dari gas bumi dan batubara.

5. Sumberdaya gas bumi cukup besar, tetapi ia terlalu mahal bila hanya mau dipakai untuk pembangkitan listrik. Baik sebagai bahan bakar untuk transportasi karena lebih murah ketimbang BBM, tetapi harus dibangun Terminal LNG dan/atau memakai gas LPG. Atau dapat di-ekspor untuk memperoleh devisa: harga gas alam di kawasan Asia Pasifik cukup tinggi (di atas $ 6/MMBtu) ketimbang harganya di Amerika Serikat yang kini sekitar $ 4,5/MMBtu.

6. Batubara harganya meningkat terus, terangkat oleh harga minyak internasional yang kini sekitar $ 90/bbl menjadi setaraf $ 90/ton. Hal ini berarti biaya bahan bakar untuk pembangkitan listrik dengan batubara menjadi Rp. 400/kWh atau 4,4 sen $AS/kWh. Ditambah biaya modal dan operasi & perawatan paling sedikit biaya pembangkitan listrik memakai batubara menjadi 7 sen $AS/kWh. Padahal dengan PLTN bisa di bawah 5 sen $AS/kWh!

Senin, 03 Januari 2011

Perlunya Program Nuklir

1. Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) harus segera dibangun di Indonesia, demi pasokan listrik tahun 2020. Karena itu harus diperjuangkan sejak sekarang oleh kaum muda yang kelak akan mengelola program nuklir nasional pasca tahun 2020. Masalahnya permintaan listrik meningkat 7% setahun, yang berarti setiap 10 tahun berlipat ganda. Jika sekarang kapasitas listrik terpasang sebanyak 35000 MW maka dalam tahun 2030 akan diperlukan 140000 MW. Jadi tambahan yang diperlukan sebanyak 105000 MW dalam jangka waktu 20 tahun. Berarti setiap tahunnya perlu tambahan 5000 MW. Bahan bakarnya dari mana dan berapa besar biayanya?

2. PLTN itu aman dan tidak ada kebocoran. PLTN selain menghasilkan bahang/panas yang dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik, juga menghasilkan zat radioaktif yang memang berbahaya karena terus menerus mengeluarkan sinar atau radiasi sampai akhirnya sirna sendiri. Tetapi dalam PLTN zat radioaktif itu terkendali bahkan harus dikelola pengamanan dan penyimpanannya. Apabila terjadi kebocoran, pemilik/ pengelola PLTN akan mengalami kerugian karena reaktor harus dihentikan operasinya (instalasi yang berhenti tidak akan menghasilkan uang). Maka dari itu pemilik/ pengelola PLTN mencegah segala kemungkinan kebocoran.

3. PLTN itu ramah lingkungan, sedikit sekali emisi apa pun dan amat andal! Insiden TMI-2 pada tahun 1979 telah memicu perbaikan dan penyempurnaan teknologi nuklir sehingga keamanan lebih terjamin. Kecelakaan Chernobil-4 pada tahun 1986 adalah akibat salah pilih falsafah keselamatan nuklir, kekeliruan kebijakan operasi PLTN dan kecerobohan operator.

4. Nuklir diperlukan dalam bauran energi Indonesia untuk meningkatkan keamanan pasokan listrik dan untuk meraih keunggulan ekonomi (harga batubara akan naik terus mengikuti harga minyak internasional, berarti biaya pembangkitan listrik dari PLTU-batubara akan meningkat terus). Sedang biaya pembangkitan listrik dari PLTN tidak terpengaruh harga minyak.

5. Ketergantungan kepada luar negeri dalam pengelolaan program nuklir nasional tidak dapat dihindari, khususnya pada tahap-tahap awal. Namun Indonesia dapat berupaya keras untuk secara lambat laun mengurangi ketergantungan dengan meningkatkan peran industri nasional. Ketergantungan tidak membahayakan program nuklir nasional karena di dunia terdapat cukup banyak pemasok teknologi nuklir dan bahan bakar nuklir.