Rabu, 03 Juni 2009

Apakah Benar Boediono Seorang Neoliberal ?

Berikut ini saya kutip dari masukan seorang anggota Mailing List yang ingin memberi cap “Neoliberal” kepada calon wapres Boediono:

“Tidak mungkin seseorang mempunyai posisi yang begitu strategis di lembaga
multilateral, seperti IMF dan WTO, kalau tidak mendapatkan kepercayaan. Dan
kepercayaan itu tidak mungkin kalau tidak memiliki kesamaan pandangan yang bersifat
ideologis, antara Boediono dengan IMF dan lembaga multilateral itu.

Jelaslah sudah, ada benang merah antara Boediono semasa pemerintahan Megawati duduk sebagai Menteri Keuangan, dengan agenda IMF dan WTO, serta kebijakan privatisasi BUMN,liberalisasi perdagangan, dan pengurangan subsidi.”

Sepintas tampaknya logis dan masuk akal, bukan ? Sebagai seseorang yang tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ekonomi, saya bukannya mau membela Boediono melainkan hanya ingin mengingatkan hal-hal berikut:

1. IMF bukan lembaga yang beku tetapi telah mengalami banyak perubahan sejak tahun 1997-98. Bukan saja karena Camdessus tidak lagi memimpin lembaga itu, tetapi perilaku dan kebijakannya sudah banyak berubah. Hanya fungsinya saja sebagai lender of last resort yang belum berubah. Sekarang ada negara yang memperoleh dana kucuran IMF tanpa dikaitkan dengan syarat.
2. Seperti diketahui kebijakan IMF dan sepak terjangnya banyak ditentukan oleh Amerika Serikat. Pada tahun 1997-98 tidak mustahil Presiden Clinton menghendaki lengsernya Presiden Soeharto. Zaman Presiden Bush ceritanya sudah lain. Apalagi sekarang dengan Obama yang memutar balik kebijakan Bush.
3. Jadi sah sah saja Boediono sekarang memperoleh kepercayaan dari IMF. Bukankah dia yang menggantikan Ical Bakrie dan menyelamatkan ekonomi kita (bersama Sri Mulyani) dari kesalahan SBY menaikkan harga BBM 100 persen pada 1 Oktober 2005 setelah beberapa bulan sebelumnya menaikkan harga BBM 30 persen? (Jangan2 termasuk ulahnya JK yang ”lebih cepat lebih baik”?) Diharapkan tentunya andaikata terpilih menjadi Wapres Boediono bakal mengundurkan diri sebagai Gubernur IMF.
4. Sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Megawati tentunya Boediono menjalankan kebijakan yang diarahkan oleh Presiden Megawati. Kenaikan harga BBM dan tarif listrik secara bertahap ketika itu berhasil mengurangi subsidi secara berarti pula. Sayangnya kenaikan berkala dihentikan oleh Megawati mulai akhir tahun 2003, karena bakal ada pilpres tahun 2004. ”Sayang” karena justru mulai tahun 2004 harga minyak internasional mulai menanjak dengan akibat menaikkan lagi subsidi.
5. Soal liberalisasi sektor energi, upaya yang dilakukan Pemerintah adalah sesuai amanat DPR yang menerbitkan undang-undang migas dan kelistrikan yang mengandung sifat neoliberal. Jadi DPR harus ikut bertanggung-jawab dong. Untunglah kita memiliki Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sebagian perundangan tersebut. Jadi yang perlu kita kaji ulang adalah: mengapa sampai DPR menerbitkan undang-undang yang mengandung sifat neoliberal?

Tidak ada komentar: